Ini Penyebab Perbedaan Lebaran Pemerintah dan Muhammadiyah Menurut Wapres
Ma'ruf Amin berpesan semua pihak mengedepankan toleransi jika berbeda Lebaran.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Ma'ruf Amin berpesan semua pihak mengedepankan toleransi jika nantinya waktu lebaran atau Hari Raya Idul Fitri Tahun 2023 ini berbeda antara Pemerintah-Nahdlatul Ulama dengan Muhammadiyah.
"Maka yang ditempuh adalah adanya sikap bisa toleransi antar dua kelompok ini untuk masing-masing, ya Lebaran sesuai dengan keyakinannya dengan hitungannya, bahasa Jawanya legowo lah," ujar Ma'ruf dalam keterangan persnya di Gorontalo, Jumat (14/4/2023).
Kiai Ma'ruf mengatakan, jangan sampai karena perbedaan waktu merayakan lebaran membuat masing-masing kelompok merasa paling benar dan berpotensi menyebabkan permusuhan. Dia mengatakan, perbedaan jatuhnya hari lebaran di Indonesia ini terjadi karena kriteria penetapan terlihatnya hilal atau imkanur rukyat.
Kiai Ma'ruf menjelaskan, Pemerintah menggabungkan metode hisab dan rukyat dalam penetapan, yakni hisab dihitung berapa tingginya yakni masuk terlihat hilal jika di atas dua derajat. "Harus dihitung kalau hisabnya di bawah dua itu tidak imkanur rukyat. Ini kesepakatan termasuk ASEAN itu segitu. Jadi walaupun dia sudah di atas ufuk tapi di bawah dua derajat itu metode inkanurukyat," ujarnya.
Sedangkan, Muhammadiyah menggunakan wujudulhilal atau asal terlihat wujud hilal, walaupun setengah derajat. Sedangkan, lebaran tahun ini, prediksi sejumlah pihak menyebut pada Jumat (21/4/2023) mendatang belum genap dua derajat sehingga digenapkan 30 hari.
"Karena belum dua derajat sudah tanggal 29 itu hari Jumat, malam Jumat itu dikira-kira itu belum imkanur rukyat karena diperkirakan istiqmal namanya, disempurnakan genap 30 hari. Karena 30 hari puasanya makanya jatuhnya (lebaran) Sabtu," ujarnya.
"Sedangkan Muhammadiyah karena sudah diatas ufuk walaupun belum dua derajat dia masuk. Nah ini sudah lama diupayakan untuk bisa bertemu tapi belum ada metode yang bisa menyatukan," tambahnya.
Namun, dia meyakini umat Muslim Indonesia saat ini sudah lebih dewasa menyikapi perbedaan ini. Sebab, perbedaaan lebaran antara NU dan Muhammadiyah ini bukan pertama kalinya. "Itu sudah kita lakukan bertahun-tahun. Dulu pertama memang agak konflik sedikit yang antara metode ini ribut, tapi belakangan tidak karena kita terus sosilisasi edukasi, sekarang rukun-rukun saja. Sambil terus mencari metode yang mempertemukan dua metode ini imkanur rukyat dan wujudul hilal," ujarnya.