Suara Warga Negara Turki di Luar Negeri Dalam Pemilu Nasional Terpecah

Pemilih luar negeri terbesar terdapat di Prancis dengan jumlah 400.000 orang.

EPA-EFE/FILIP SINGER
Warga Turki mengantre di kedutaan Turki untuk memberikan suara pada pemilihan umum Turki, di Berlin, Jerman, Kamis (27/4/2023).
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Sekitar 3,4 juta warga Turki yang tinggal di luar negeri telah memulai pemilihan nasional yang akan memutuskan apakah Presiden Recep Tayyip Erdogan akan terus memerintah Turki setelah dua dekade berkuasa. Pemungutan suara di luar negeri dimulai pada Kamis (27/4/2023) di tengah kekhawatiran tentang kesehatan Erdogan, sehingga terpaksa membatalkan kampanye pemilu pada Rabu (26/4/2023) dan Kamis.

Baca Juga


Pemilih luar negeri terbesar terdapat di Prancis dengan jumlah 400.000 orang Turki dan 1,5 juta di Jerman. Mereka dapat memberikan suara dalam pemilihan presiden dan parlemen Turki hingga 9 Mei. Sementara pemungutan suara di Turki berlangsung pada 14 Mei.

Jajak pendapat terbaru di Turki menunjukkan keunggulan tipis bagi penantang utama Erdogan, yaitu pemimpin partai oposisi kiri-tengah Kemal Kilicdaroglu, yang didukung oleh Millet İttifakı (Aliansi Bangsa) lintas partai. Erdogan menjabat sebagai perdana menteri Turki dari Maret 2003 hingga Agustus 2014 dan menjabat sebagai presiden sejak saat itu.  Dia telah dikritik karena pemerintahannya yang semakin otoriter, termasuk penanganan ekonomi dan inflasi yang merajalela dalam beberapa tahun terakhir, serta gempa dahsyat yang melanda Turki pada bulan Februari.

Seorang pemilih di Berlin, Fatma, menyatakan dukungannya untuk Erdogan. “Erdogan kuat.  Kami berada di belakangnya,” katanya kepada kantor berita The Associated Press.

Warga negara Turki yang berada di Paris, Ozlem Dinc juga menyatakan dukungan penuh untuk Erdogan. "Kami berharap dari lubuk hati kami bahwa dia akan berkuasa lagi dan dia akan menaklukkan seluruh dunia," katanya.

Sementara warga Turki lain yang berada di luar negeri mengkritik Erdogan dan perubahan yang dia buat pada sistem politik Turki. Seorang warga Turki yang tinggal di Paris, Sema Jude mengatakan, sistem negara bisa diubah jika presidennya diganti.

“Kita harus mengubah presiden terlebih dahulu baru kemudian sistemnya. Sistem presidensial di Turki tidak demokratis dan seperti kediktatoran," kata Jude.

Senada dengan Jude, Cinar Negatir juga  setuju jika kepemimpinan Erdogan harus berakhir. “Ya untuk pergantian presiden, karena ekonomi nol persen. Itu sebabnya kami memilih untuk mengubah presiden," ujarnya.

Hingga 300 orang berbaris di luar Konsulat Jenderal Turki di pinggiran Paris Boulogne-Billancourt. Mereka mengantri untuk memberikan suara.

Putaran kedua antara dua calon presiden teratas akan berlangsung pada 28 Mei, kecuali pemilihan pada 14 Mei menghasilkan pemenang yang jelas dengan lebih dari 50 persen suara.  Jika pemungutan suara berlangsung putaran kedua, pemungutan suara di luar negeri akan dilakukan pada 20-24 Mei.

sumber : AP
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler