UU Perampasan Aset Dinilai Mampu Kembalikan Hak Negara dan Masyarakat

Mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana harus in rem pada benda

Republika/Prayogi
Menko Polhukam yang juga Ketua Komite Koordinasi Nasional PP TPPU Mahfud MD bersiap mengikuti rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan. RUU Perampasan Aset masuk dalam Prolegnas 2023 sebagai bagian usulan pemerintah. Karenanya, pemerintah harus serahkan RUU Perampasan Aset ke DPR sebagai bentuk dari penyelesaian tugas pemerintah dalam menyusun RUU Perampasan Aset tersebut. Tapi hingga kini draf RUU Perampasan Aset itu masih belum diserahkan pemerintah kepada DPR RI.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra mendorong agar RUU Perampasan Aset segera disahkan. Ia optimis aturan tersebut akan berdampak positif untuk mengembalikan hak negara dan masyarakat.


Azmi mengamati tingginya angka korupsi belakangan ini ditandai dengan kecurangan, memperdagangkan pengaruh, penyalahgunaan kekuasaan, praktik pencucian uang. Fenomena ini menurutnya harus dimaknai sebagai kejahatan yang serius.

"Guna mencegah dan memberantas optimal kejahatan ini maka menjadi urgensi keberadaan UU Perampasan Aset, sebab perangkat hukum yang ada saat ini belum mampu secara maksimal dalam mengeksekusi pengembalian aset hasil korupsi maupun kejahatan," kata Azmi kepada Republika, Rabu (3/5/2023).

Azmi menyebut mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana harus secara in rem melekat pada kebendaannya bukan pada orang. Sehingga ia berharap tidak dilakukan dengan cara konvensional, melainkan melalui sistem pembalikan beban pembuktian guna mengembalikan aset negara dan menyita aset terkait dengan kejahatan.

"Jadi sekalipun tersangka atau terdakwa beralasan atau berupaya melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaannya termasuk meninggal dunia benda hasil kejahatannya dapat disita," ujar Azmi.

Azmi juga memandang praktik korupsi maupun trend modus pencucian uang yang dilakukan penyelengara negara bekerjasama dengan pihak lain dapat dimaknai negara sebagai korban. Sehingga menurutnya, negara harus mengambil kembali aset yang dikuasai oleh pelaku yang hasilnya berhubungan dari suatu persekongkolan kejahatan.

"Dengan adanya UU Perampasan aset dapat diartikan sebagai wujud 'berikanlah  kepada negara apa yang menjadi hak negara'," ucap Azmi.

Selain itu, Azmi berharap UU Perampasan Aset mewujudkan kebijakan legislasi dan teroperasionalnya kerjasama antara penegak hukum serta segala lapisan unsur masyarakat sebagaimana amanat Pasal 41 UU Tipikor. Dalam pasal itu masyarakat dapat berperan maksimal guna membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi termasuk tindak pidana pencucian uang.

"Tidak ada tempat di Indonesia bagi pelaku untuk menyembunyikan aset atau harta dari perbuatan tindak pidana korupsi serta tidak ada seorang pun yang dapat menikmati aset-aset hasil kejahatan," ujar Azmi.

Diketahui, RUU Perampasan Aset masuk dalam Prolegnas 2023 sebagai bagian usulan pemerintah. Karenanya, pemerintah harus serahkan RUU Perampasan Aset ke DPR sebagai bentuk dari penyelesaian tugas pemerintah dalam menyusun RUU Perampasan Aset tersebut. Tapi hingga kini draf RUU Perampasan Aset itu masih belum diserahkan pemerintah kepada DPR RI.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyampaikan naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset segera dikirim ke DPR karena seluruh materi yang sifatnya substantif telah disepakati oleh menteri dan ketua lembaga. 

Mahfud MD, saat jumpa pers di kantornya, Jakarta, Jumat (14/4/2023), menyampaikan dirinya bersama menteri dan ketua lembaga dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kejaksaan Agung, Polri, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah memaraf naskah RUU Perampasan Aset.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler