Legislator DPR Minta Hapus Penyamarataan Tembakau dan Narkoba di RUU Kesehatan

RUU itu akan mengeliminasi industri hasil tembakau dan juga merenggut nafkaf pekerja.

www.pixabay.com
Rokok (ilustrasi). Anggota Badan Legislasi DPR RI, Firman Soebagyo, meminta ketentuan yang menyamaratakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam RUU Kesehatan dihapus.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi DPR RI, Firman Soebagyo, meminta ketentuan yang menyamaratakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam RUU Kesehatan dihapus. Dia menilai, ketentuan tersebut akan mengeliminasi industri hasil tembakau dan juga merenggut nafkah hidup para pekerjanya.

Baca Juga


“Ketentuan tersebut harus dihapus karena tidak memenuhi rasa keadilan. Tembakau ini merupakan produk yang legal,” ujar Firman lewat keterangannya, Selasa (9/5/2023).

Di dalam RUU Kesehatan, kata dia, ketentuan tersebut ada dalam pasal 154 ayat (3). Di mana pasal tersebut berbunyi, zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, hasil tembakau, dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya.

“Saya sebagai wakil rakyat yang notabene di wilayah saya banyak industri dan petani tembakau, saya punya kewajiban untuk menyampaikan kepada negara dan pemerintah agar ketentuan tersebut dihapus,” kata Firman.

Firman menambahkan, penyamarataan tembakau yang merupakan barang legal dengan narkotika dan psikotropika yang merupakan barang ilegal merupakan usul dari Kementerian Kesehatan yang tiba-tiba masuk dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diserahkan kepada DPR pada awal April lalu.

“Pasal tersebut tidak ada dalam draf sebelumnya. Namun dalam DIM dari pemerintah kemudian muncul narasi itu, yang menurut pandangan kami tidak sesuai dengan pengusul (DPR),” kata legislator asal Jawa Tengah itu.

Menurut dia, ketentuan itu menjadi persoalan tak hanya dari aspek proseduralnya saja, tapi juga pada industri tembakau yang merupakan salah satu kontributor terbesar ekonomi nasional. Industri tembakau, kata dia, tertekan baik secara langsung seperti pendapatan cukai maupun tidak langsung melalui penyerapan tenaga kerja.

Jika beleid kesehatan ini sah, Firman menilai, maka akan ada lebih dari 5 juta pekerja industri hasil tembakau yang akan kehilangan pekerjaannya. Itu pun belum termasuk pekerja di sektor industri pendukung seperti distribusi, hingga ritel, kreatif, periklanan hingga UMKM.

“Ada lebih dari 5 juta pekerja di IHT yang mayoritas merupakan perempuan. Ini jumlah yang tidak kecil dan akan berdampak jika tembakau disamaratakan dengan narkoba. Hak hidup mereka akan terempas akibat ketentuan pasal tersebut,” terang Firman.

Karena itu, anggota Komisi IV DPR RI itu mendesak pemerintah untuk menarik pasal tersebut. Firman juga menambahkan, sejatinya sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dalam menjelaskan bahwa adiksi tembakau berbeda dengan narkotika dengan psikotropika, sehingga produk tersebut memang tidak dapat disamaratakan.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler