Pemimpin G7 Khawatirkan Prospek Ekonomi Karena Krisis Utang AS
G& waspadai kebuntuan pagu utang AS.
REPUBLIKA.CO.ID, NIIAGATA -- Pembahasan dalam pertemuan puncak pemimpin keuangan negara-negara G7 tidak jauh dari meningkatnya ketidakpastian ekonomi. Pada akhir pertemuan, para pemimpin negara G7 merasa khawatir dengan kebuntuan utang AS dan dampak dari invasi Rusia ke Ukraina.
Pertemuan di kota Niigata, Jepang, terjadi ketika para pembuat kebijakan global sudah disibukkan dengan kegagalan bank AS serta upaya untuk mengurangi ketergantungan pada Cina lantaran dipaksa bergulat dengan potensi gagal bayar oleh ekonomi terbesar di dunia itu. Meskipun kebuntuan pagu utang AS tidak disampaikan dalam komunike, namun hal itu terus-menerus muncul dalam diskusi.
"Kita harus tetap waspada dan tetap gesit dan fleksibel dalam kebijakan ekonomi makro kita di tengah meningkatnya ketidakpastian tentang prospek ekonomi global," tambah mereka dalam komunike usai pertemuan dikutip dari Reuters, Sabtu (13/5/2023).
Pertikaian pagu utang tersebut dibahas pada Kamis malam, Menteri Keuangan Jepang Shunichi Suzuki mengatakannya pada konferensi pers setelah pertemuan. Namun, ia menolak untuk menjelaskan lebih lanjut.
Diketahui, kebuntuan telah melanda pasar karena biaya pinjaman telah meningkat lantaran pengetatan moneter yang agresif oleh bank sentral AS dan Eropa. Bahkan, ketahanan ekonomi global pun sedang berada dalam guncangan yang cukup besar, termasuk pandemi Covid-19, perang agresi Rusia melawan Ukraina, serta tekanan inflasi yang terkait.
Dalam pertemuan puncak para pemimpin G7 juga membahas perihal kendali investasi ke Cina, sumber pemerintah Jerman juga mengatakan pengawasan terhadap investasi akan ditujukan pada area yang strategis. Jepang juga bersikap hati-hati terhadap gagasan kendali investasi keluar terhadap Cina karena dampak besar yang dapat terjadi pada perdagangan global dan ekonomi sendiri.
"Membatasi investasi keluar akan cukup sulit," kata salah satu pejabat.
Inisiatif lain yang akan didukung oleh G7 adalah menciptakan kemitraan dengan negara berpendapatan rendah dan menengah untuk mendiversifikasi rantai pasokan dari negara-negara seperti Cina.
Namun, para analis skeptis terhadap seberapa efektif langkah-langkah tersebut dalam melawan Cina.
Kepala ekonom pasar emerging di Institut Penelitian Dai-ichi Life, Toru Nishihama mengatakan menjauhkan diri dari Cina adalah hal yang sulit. Menurutnya, langkah tersebut dikhawatirkan dapat memecah perdagangan dunia, merusak pertumbuhan global, dan merugikan ekonomi G7 itu sendiri.