Indef: Perdagangan Minyak Sawit Jangan Melulu Untungkan Pembeli Asing

Indef menganjurkan pemerintah mengkaji ulang bursa perdagangan minyak sawit.

ANTARA/Aditya Pradana Putra
Ilustrasi minyak goreng olahan CPO.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menganjurkan pemerintah mengkaji ulang rencana meluncurkan bursa untuk perdagangan komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada Juni 2023. Pasalnya, kebijakan itu dapat menguntungkan buyer/asing, sekaligus membebani pelaku usaha termasuk petani sawit yang menanggung biaya tambahan.

Baca Juga


“Sekarang kan ada duapoli, yakni di Malaysia dan Rotterdam. Kalau ditambah lagi akan lebih banyak. Jadi kan persaingan lebih ketat. Akhirnya, buyer lebih selektif karena punya banyak pilihan,” kata Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad dalam keterangannya di Jakarta pada Selasa (23/5/2023).

Namun, Tauhid Ahmad mengatakan, bursa CPO Indonesia akan menguntungkan bagi pemerintah karena lebih fair dalam mengacu pada penetapan pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK). “Itu lebih clear ketimbang yang dipakai bursa Malaysia. Nah ini menguntungkan bagi pemerintah dalam menetapkan pungutan bea keluar dan lainnya,” katanya menjelaskan.

Tapi, lanjut dia, bagi pengekspor, belum tentu harga yang diterima itu lebih baik. Bisa saja harga lebih tinggi, tapi karena ada persaingan yang lebih ketat antarbursa, itu bisa membentuk harga yang lebih rendah. 

Sama halnya seperti komoditas minyak mentah, ada Brent, ada WTI, dan lainnya. Biasanya, ada yang lebih tinggi ada yang lebih rendah. “Tinggal nanti apakah kita menjual CPO dengan kualitas yang sama atau tidak. Nah itu yang berbeda. Selain itu kemungkinan ada perbedaan karena adanya biaya logistik dan lain sebagainya. Kalau beli di sini, ada cost untuk mengambilnya, misalnya. Tinggal dilihat dinamika harganya seperti apa,” katanya.

Di sisi lain, Tauhid menambahkan, yang masuk dalam bursa komoditas itu ada biaya/cost walaupun mungkin nanti tergantung volume yang diperdagangkan. “Semakin banyak yang diperdagangkan, ya semakin tinggi cost-nya. Kayak di bursa efek, ada fee bursa, tapi kecil. Nah ini juga sama. Lembaga bursa itu harus hidup, dia punya infrastruktur, SDM, dan lainnya. Tidak mungkin lembaga bursa ini dibiayai pemerintah secara utuh,” jelasnya. 

Tauhid menilai cost yang timbul dari fee itu akan berdampak secara tidak langsung terhadap pembentukan harga di hulu. “Otomatis ini akan berdampak ke hulu, yakni menekan harga tandan buah segar (TBS). Ya kan sudah ada PE, BK, dan lainnya. Di Malaysia kan beda, dia (eksporter) gak ikut bursa di sana (bursa Malaysia), tapi bisa jual di sini. Tapi kalau di sini kan wajib ikut bursa di sini. Otomatis ada cost yang dibebankan. Nah ini yang harus dilihat lagi,” katanya.

Dia juga menyoroti penggunaan nilai tukar yang akan dipakai di bursa CPO ini. “Jika pakai rupiah, ini ada risiko fluktuasi nilai tukar. Jika rupiah melemah, depresiasi, itu kan jadi problem, juga sebaliknya,” katanya.

Selain cost kepesertaan di bursa, Tauhid juga menggarisbawahi adanya rencana pengenaan PPh meskipun dapat direstitusi. “Ya berarti perusahaan kena pajak lagi. Dan kalaupun ada restitusi pajak, kan butuh waktu. Menurut saya sih jarang yang berhasil restitusi pajak. Menurut saya, dalam tahap awal jangan dululah. Kita mesti lihat, apakah ini membuat semakin baik atau tidak,” tuturnya.

Tauhid menjelaskan, rencana ini sebenarnya sudah diwacanakan lama, sudah 10 tahun lalu. “Tapi masih ada catatan yang perlu diperhatikan, apakah rencana ini menambah baik bagi pelaku usaha dan menguntungkan bagi petani sawit atau justru sebaliknya. Selisih harga dengan bursa Malaysia bagaimana, apakah jauh atau tidak, itu tidak bisa dijawab sekarang. Kalau cost-nya lebih besar daripada manfaatnya ya jadi masalah,” katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler