Ssstt...Diam-Diam Militer AS Siapkan Bom untuk Menghancurkan Fasilitas Nuklir Iran
Militer AS menghapus unggahan foto bom penghancur nuklir Iran.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Militer Amerika Serikat (AS) mengunggah foto bom yang dirancang untuk menembus jauh ke dalam bumi, dan menghancurkan fasilitas nuklir bawah tanah Iran yang dapat digunakan untuk memperkaya uranium. Angkatan Udara AS pada 2 Mei merilis foto senjata langka, GBU-57, yang dikenal sebagai 'Massive Ordnance Penetrator'.
Namun, Angkatan Udara AS kemudian menghapus foto tersebut, karena foto itu mengungkapkan detail sensitif tentang komposisi dan pukulan senjata. Publikasi foto-foto tersebut muncul ketika The Associated Press melaporkan bahwa Iran membuat progres dalam membangun fasilitas nuklir, yang kemungkinan berada di luar jangkauan GBU-57, yang dianggap sebagai senjata terakhir militer AS untuk menghancurkan bunker bawah tanah.
Foto dan video dari Planet Labs PBC menunjukkan, Iran telah menggali terowongan di gunung dekat situs nuklir Natanz, yang telah berulang kali diserang sabotase di tengah buntunya kesepakatan Teheran dengan Barat atas program atomnya. Laporan pada Senin (22/5/2023) muncul di tengah lonjakan ketegangan Iran-AS dan terhentinya diplomasi antara kedua negara.
"Penyelesaian fasilitas semacam itu akan menjadi skenario mimpi buruk yang berisiko memicu spiral eskalasi baru,” kata Direktur Kebijakan Nonproliferasi di Asosiasi Pengendalian Senjata yang berbasis di Washington, Kelsey Davenport.
"Mengingat seberapa dekat Iran dengan bom, ia hanya memiliki sedikit ruang untuk meningkatkan programnya tanpa melanggar garis merah AS dan Israel. Jadi pada titik ini, eskalasi lebih lanjut meningkatkan risiko konflik,” kata Davenport.
Bulan ini menandai lima tahun sejak mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir dan menjatuhkan sanksi kepada Iran. Pemerintahan Presiden AS Joe Biden terus memberlakukan dan menegakkan sanksi tegas terhadap industri minyak dan petrokimia Iran. Sementara itu, Teheran terus melangkah maju dengan program nuklirnya.
Biden telah berjanji untuk menghidupkan kembali pakta nuklir tersebut. Tetapi setelah melewati banyak putaran pembicaraan tidak langsung selama dua tahun terakhir, pemerintahan Biden gagal menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran.
Sejak berakhirnya perjanjian nuklir, Iran terus memperkaya uranium hingga 60 persen atau naik dari ambang batas 3,67 persen berdasarkan kesepakatan nuklir 2015. Belum lama ini, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menemukan bahwa Iran telah menghasilkan partikel uranium yang murni 83,7 persen, mendekati ambang 90 persen uranium untuk tingkat senjata.
Pada Februari, IAEA memperkirakan persediaan uranium Iran mencapai lebih dari 10 kali lipat dari kesepakatan era pemerintahan Barack Obama. AS dan Israel, yang secara luas diyakini memiliki senjata nuklir terselubung, mengatakan mereka tidak akan mengizinkan Iran membuat senjata nuklir.
"Kami percaya diplomasi adalah cara terbaik untuk mencapai tujuan itu, tetapi presiden juga telah menjelaskan bahwa kami belum menghapus opsi apa pun dari meja," kata Gedung Putih.
Misi Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan, kegiatan nuklir damai Iran bersifat transparan dan di bawah perlindungan Badan Energi Atom Internasional. Iran mengatakan konstruksi baru itu akan menggantikan pusat manufaktur sentrifugal di atas tanah di Natanz yang dilanda ledakan dan kebakaran pada Juli 2020. Teheran menyebut serangan itu sebagai terorisme nuklir. Iran menuding Israel bertanggung jawab atas ledakan tersebut.
Proyek baru sedang dibangun di sebelah Natanz, sekitar 225 kilometer selatan Teheran. Natanz telah menjadi perhatian internasional sejak keberadaannya diketahui dua dekade lalu. Dilindungi oleh baterai anti-pesawat, pagar, dan Pengawal Revolusi paramiliter Iran, fasilitas ini terbentang seluas 2,7 kilometer persegi di dataran tinggi tengah negara yang gersang.
Foto satelit yang diambil pada April oleh Planet Labs PBC dan dianalisis oleh Associates Press menunjukkan, Iran menggali terowongan di Kuh-e Kolang Gaz La, atau Gunung Beliung, yang berada tepat di luar pagar selatan Natanz. Serangkaian gambar berbeda yang dianalisis oleh Pusat Studi Nonproliferasi James Martin mengungkapkan, empat pintu masuk telah digali ke lereng gunung, dua di timur dan dua lainnya di barat. Masing-masing berukuran lebar 6 meter dan tinggi 8 meter.
Berdasarkan ukuran tumpukan sampah dan data satelit lainnya, para ahli di pusat mengatakan, Iran kemungkinan membangun fasilitas di kedalaman antara 80 meter dan 100 meter.
“Jadi kedalaman fasilitas menjadi perhatian karena akan jauh lebih sulit bagi kami. Akan jauh lebih sulit untuk dihancurkan menggunakan senjata konvensional, seperti bom penghancur bunker biasa,” kata Steven De La Fuente, rekan peneliti di pusat yang memimpin analisis pekerjaan terowongan.
Fasilitas Natanz yang baru kemungkinan berada lebih dalam di bawah tanah daripada fasilitas Fordow Iran, yaitu situs pengayaan lain yang diekspos pada 2009 oleh AS. Fasilitas itu memicu kekhawatiran Barat bahwa Iran memperkuat programnya dari serangan udara.