Satu Ponpes yang Dipimpin Terduga Pelecehaan Santriwati Modus 'Pengajian Seks' tak Berizin
Kemenag NTB menegaskan kasus ini dilakukan oleh seorang oknum.
REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM--Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama NTB, Zamroni Aziz menyampaikan permintaan maaf atas dugaan pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan podok pesantren (ponpes) di Lombok Timur. Dua oknum pimpinan pondok pesantren di Kabupaten Lombok Timur ditangkap karena diduga melakukan kekerasan seksual terhadap 41 santriwati.
Ironisnya, kedua pimpinan ponpes ini melecehkan santriwati hingga sebagian berujung pemerkosaan dilakukan dengan modus 'pengajian seks' dan 'janji surga'. Korban kebejatan kedua pimpinan ponpes masih berusia 16-17 tahun.
Zamroni Azis menegaskan, perbuatan tersebut dilakukan oleh oknum. "Kami memohon maaf atas nama Kemenag. Kami sudah membina semaksimal mungkin untuk ponpes. Melalui forum ponpes, KSPP dan sebagainya," tutur Zamroni di Mataram, Jumat (26/5/2023).
Selain itu, dirinya mengimbau kepada masyarakat NTB untuk tidak pernah ragu mendidik anaknya di ponpes karena masih banyak ponpes lain. "Karena yang lain masih punya niat yang baik, itikad baik untuk memberikan layanan terbaik, mendidik anak-anak sebagai penerus agama, bangsa dan negara. NTB, terutama Lombok ini adalah lumbungnya ponpes. Jangan pernah ponpes lain dicederai segelintir yang mengatas namakan ponpes dan saya kira itu oknum. Dan kita tunggu apa hasilnya sesuai hukum yang berlaku," katanya.
Kepala Kanwil Kemenag NTB ini menegaskan, pihaknya sudah menurunkan tim melalui Kementerian Agama Kabupaten Lombok Timur. Dari hasil investigasi dari dua pondok pesantren (ponpes) yang diduga menjadi tempat pelecehan seksual satu sudah memiliki izin dan satu lagi belum memiliki izin.
"Untuk Ponpes di Sikur sudah ada izin. Sedangkan yang di Kotaraja belum terdata di Kementerian Agama," ujarnya.
Ia mengatakan bisa dikatakan pondok pesantren apabila memiliki kiai atau tuan guru, ada santri yang bermukim atau menginap, ada lembaga pendidikan formal seperti SMA, SMK, dan MA. "Baru itu dikatakan ponpes dan itu prosesnya panjang untuk diberikan izin. Kalau kemarin itu ada satu pondok yang terdata dan satu lagi tidak ada data. Minta izin operasional saja ke Kemenag Lombok Timur tidak ada," kata Zamroni Aziz.
Terkait temuan di lapangan tersebut, tentu pihaknya akan mengambil sikap. Namun seperti sikap tersebut, tentu keputusan ada di Kementerian Agama (Kemenag) RI yang memiliki kewenangan. Apakah itu sanksi mencabut izin hingga menghentikan sementara operasional ponpes. Khusus pondok pesantren di Sikur Lombok Timur tersebut sudah berdiri beberapa lembaga pendidikan tentu ada beberapa pertimbangan. Apakah dicabut atau tidak kembali lagi pada keputusan Kemenag RI.
"Kita akan koordinasi dengan Kemenag RI karena yang akan mencabut atau menghentikan sementara itu Kemenag RI. Yang jelas kami bekerja sesuai dengan SOP dan ketentuan yang ada," katanya menegaskan.
Sebelumnya, dua pimpinan pondok pesantren (Ponpes) di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat ditangkap atas dugaan kekerasan seksual terhadap 41 santriwati. Keduanya, yakni LMI (43 tahun) dan HSN (50) yang merupakan pimpinan ponpes.
Kedua pelaku diduga telah melakukan kekerasan seksual terhadap 41 santri dalam rentang waktu hingga tahun 2023. Tiga orang korban telah membuat laporan polisi atas perbuatan bejat kedua pimpinan ponpes.
"Saat ini, pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polres Lombok Timur," kata Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar dalam keterangannya, Kamis (25/5/2023).
Nahar menegaskan kasus ini terjadi dengan modus diantaranya “janji masuk surga” melalui “pengajian seks”. Tindakan ini merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan yang tidak dapat ditolerir dan patut dihukum berat. Terduga pelaku dengan keji melakukan kekerasan seksual persetubuhan dengan korban yang berusia 16-17 tahun.
“Terduga pelaku adalah pendidik di bidang keagamaan, tidak hanya melindungi anak tapi juga seharusnya menuntun anak pada perbuatan yang baik dan benar. Dalam kasus ini terduga pelaku justru melanggarnya dengan melakukan tindak pidana kekerasan seksual kepada anak didiknya," ujar Nahar.
Pelaku terancam hukuman maksimal berupa pidana mati, seumur hidup, dan/atau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan kebiri dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Nahar berharap penegakan hukum kasus ini juga dapat menggunakan UU No 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Ini agar hak-hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan dapat diberikan, termasuk hak untuk mendapatkan restitusi atau ganti rugi sebagai korban kekerasan seksual," ujar Nahar.