Penyebab Anda 'Ngidam' Makanan Manis Saat Stres Melanda
Kombinasi stres dan makanan yang menenangkan itu mematikan mekanisme otak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi orang-orang yang sedang mengalami stres, sepertinya makanan yang menenangkan menawarkan solusi ideal, atau mungkin sesaat. Sebuah studi baru dari Garvan Institute of Medical Research di Sydney, Australia, menunjukkan bagaimana orang-orang harus berpikir dua kali sebelum memasukkan makanan “yang menenangkan” saat stres.
Studi yang dilakukan pada tikus ini menemukan, kombinasi stres dan makanan yang menenangkan itu mematikan mekanisme otak untuk memberi tahu Anda kapan waktunya sudah cukup makan. Hal ini dapat menyebabkan seseorang terlalu memanjakan diri dengan pilihan makanan yang menenangkan, serta penambahan berat badan dan obesitas, yang berpotensi menjadi sumber lebih banyak stres.
Area otak yang terkena adalah habenula lateral yaitu organ yang ada pada tikus dan manusia. Dalam kondisi normal, area itu menghasilkan sensasi ringan dan tidak menyenangkan dalam jangka pendek dari diet tinggi lemak.
Para peneliti menemukan, habenula lateral tetap diam seperti biasanya saat makanan tinggi lemak. Tikus terus makan, tampaknya untuk kesenangan, tanpa merasa kenyang.
Setelah analisis lebih lanjut, para peneliti menemukan bahwa tikus stres mengonsumsi pelet (atau cairan) makanan manis dua kali lebih banyak dibandingkan tikus yang tidak stres. Ini menunjukkan bahwa preferensi untuk makanan manis tetap ada pada tikus yang stres. Ketika para peneliti mengaktifkan kembali habenula lateral menggunakan cahaya optogenetik yang dapat mengontrol aktivitas saraf, tikus berhenti makan berlebihan.
Apa itu makanan yang menenangkan? Profesor psikologi di University of California, Los Angeles (UCLA), A. Janet Tomiyama mengatakan tidak ada definisi universal tentang makanan yang menenangkan.
"Orang menganggap makanan yang menenangkan secara otomatis adalah makanan tinggi lemak, tinggi gula, dan berkalori tinggi, tetapi belum ada yang mengujinya secara sistematis,” kata Tomiyama dilansir Medical News Today, Senin (12/6/2023).
Profesor di departemen Health Science di Manhattan Community Collage, Lesley Rennis mengatakan makanan menenangkan adalah kudapan yang rasanya enak dan membuat Anda merasa nyaman. Biasanya, makanan menanangkan ini padat kalori, kaya gula dan lemak, serta memiliki nilai nostalgia dan sentimental.
"Kadang-kadang disebut makanan yang sangat enak, makanan ini bermanfaat dan merangsang pelepasan hormon rasa enak seperti serotonin,” ujar Rennis
Banyak penelitian menyelidiki daya tarik psikologis dari makanan yang menenangkan. Rennis mengatakan, studi lebih lanjut akan menambah informasi tentang makanan menenangkan.
"Ini memberikan lapisan pengetahuan tentang fisiologi stres dan dampakya terhadap asupan makanan. Seperti semua keadaan penyakit, ada kontributor fisiologis dan psikologis,” kata dia.
Ditanya tentang kemungkinan bahwa studi tikus menghasilkan hasil yang juga berlaku untuk manusia, baik penulis utama studi tersebut, Chi Kin Ip dan Tomiyama merasa demikian. "Manusia adalah hewan seperti tikus, dan penelitian pada hewan non-manusia memberikan kontrol eksperimental sangat ketat yang memberikan informasi berharga yang tidak bisa kita dapatkan pada manusia," ujar Tomiyama.
Ip menjelaskan beberapa kesamaan antara manusia dan hewan, seperti, struktur anatomi dan fungsi habenula. Ip mengatakan, habenula lateral adalah wilayah yang memainkan peran penting dalam mengatur respons emosional. Dia mencatat lebih lanjut bahwa sebuah molekul yang didentifikasi dalam penelitian untuk perilaku habenula lateral juga ada pada manusia.
Ip mengatakan, makanan tinggi lemak menyediakan cara untuk mendapatkan energi dengan cepat. Pada manusia modern, stres kurang relevan dengan kelangsungan hidup secara harfiah. "Menikmati makanan yang menenangkan kadang-kadang tidak menimbulkan masalah,” kata Rennis.
Di sisi lain, Tomiyama menjelaskan bahwa berat badan yang lebih tinggi sangat distigmatisasi. Tomiyama telah menghabiskan satu dekade penelitian yang menunjukkan bahwa stigma berat badan membuat stres dan merangsang respons stres biologis.
Rennis mencatat, mengonsumsi makanan yang menenangkan secara berlebihan sebagai respons terhadap stres itu mirip dengan minum alkohol sesekali untuk menenangkan diri. “Tidak apa-apa sesekali, tapi bisa menimbulkan masalah jika dilakukai secara berlebihan,” ujar dia.
Tomiyama menunjukkan bahwa makanan yang menenangkan tidak harus tinggi gula, lemak, atau kalori untuk membuat nyaman. “Kami melatin orang untuk merasa lebih baik setelah makan buah,” kata dia.