Bawaslu Intensif Awasi Politik Uang

Salah satu kendala yakni politik uang yang dilakukan orang bukan dari tim kampanye.

Republika/Prayogi
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja.
Rep: Febryan A Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI merespons positif peringatan yang disampaikan Mahkamah Konstitusi (MK) soal maraknya politik uang dalam pemilihan legislatif (pileg) dengan sistem proporsional daftar calon terbuka. MK diketahui memutuskan pemilu tetap menggunakan sistem tersebut. 

Baca Juga


Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan, Bawaslu memang punya tantangan tersendiri mengawasi masa kampanye Pemilu 2024 yang hanya 75 hari. Dengan masa kampanye yang pendek, para calon anggota legislatif (caleg) tidak punya cukup waktu untuk mempromosikan diri dan rencana program kepada masyarakat. Mereka pun berpotensi menempuh cara instan untuk mendulang suara, yakni membeli suara pemilih. 

"Masa 75 hari itu kan sudah di ujung (dekat ke hari pencoblosan). Peserta akan berlomba meyakinkan pemilih. Meyakinkan pemilih kan bisa dengan uang. Ini agak berbahaya," kata Bagja kepada wartawan di Kantor KPU RI, Jakarta, Jumat (16/6/2023). 

Karena itu, kata Bagja, Bawaslu akan intens melakukan pengawasan praktik politik uang sejak masa kampanye dimulai. Berbeda dengan Pemilu 2019, pengawasan politik uang diutamakan saat masa tenang karena masa kampanye cukup panjang, enam bulan tiga pekan. 

"Dulu pengawasan yang melibatkan banyak orang itu dilakukan pada masa tenang. Untuk Pemilu 2024, pengawasan (intens) kita tarik sejak masa kampanye," kata Bagja. 

Bagja menegaskan, pihaknya juga akan intens mengawasi praktik politik uang pada masa tenang Pemilu 2024. Sebab, politik uang biasanya memang paling marak saat masa tenang.  "Memang politik uang paling parah saat masa tenang biasanya karena orang meyakinkan (pemilih) di akhir-akhir jelang hari pencoblosan," ujarnya.

Kendati mengklaim akan melakukan pengawasan intens, Bagja mengakui bahwa politik uang yang dilakukan bukan oleh tim kampanye resmi, sulit dikaitkan kepada peserta pemilu. Sebab, untuk menindak peserta pemilu, dibutuhkan bukti-bukti lengkap yang menunjukkan bahwa memang dia yang memerintahkan membagikan uang kepada pemilih. 

Contohnya, seorang tokoh masyarakat memberikan uang kepada pemilih untuk memilih caleg A. Sementara si tokoh masyarakat bukan anggota tim kampanye resmi. Sanksi hanya bisa dijatuhkan kepada si tokoh masyarakat apabila tidak ada bukti keterlibatan caleg A secara langsung dalam praktik culas itu. 

 

 

"Biasanya terputus itu (sanksi hanya kepada pelaku pemberi uang, tidak sampai kepada peserta pemilunya). Sebab, pidana pemilu itu presisi (buktinya), kita tidak bisa menuduh orang," ujar Bagja. 

Kemarin, Kamis (15/6/2023), MK menolak gugatan yang meminta sistem pemilu diganti menjadi proporsional daftar calon tertutup. Dengan demikian, sistem proporsional terbuka akan tetap digunakan dalam Pemilu 2024. 

Kendati begitu, MK dalam bagian pertimbangan putusannya mengungkapkan bahwa praktik politik uang merupakan salah satu kelemahan sistem proporsional terbuka. Para caleg yang punya sumber daya finansial besar dapat memanfaatkannya untuk membeli suara pemilih. 

MK menawarkan tiga langkah konkret untuk mengurangi potensi terjadinya praktik politik uang dalam penyelenggaraan pemilu. Pertama, meningkatkan komitmen peserta pemilu untuk menjauhi praktik politik uang. Kedua, melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu, termasuk dengan membubarkan partai yang membiarkan praktik culas itu berkembang. Ketiga, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menolak politik uang.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler