Tujuan di Balik Pendirian Pondok Pesantren Al Zaytun

Pemerintah dituntut tegas bertindakan selesaikan masalah AL Zaytun.

Republika/Lilis Sri Handayani
Pihak Alzaytun kembali mengerahkan anjing penjaganya dalam pengamanan menyambut massa unjuk rasa, di depan pintu masuk Ma
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Amirul Mukminin, Direktur Penerbit Darul Falah***


Ponpes Al-Zaytun adalah program defeksi Orde Baru. Tujuan pendiriannya adalah menjaring dan kalangan "Islam radikal" yang masih berpemikiran dan mencita-citakan penegakan negara Islam di Indonesia sehingga terkontrol dan teredam. Hal ini berkaca dari fakta sejarah berbagai gerakan DI-TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Aceh, dan juga berbagai aksi pengeboman yang berupaya merongrong kedaulatan negara Republik Indonesia. Untuk memberi citra buruk, label itu dilekatkan dengan sandi NII-KW 9. Adapun yang dimunculkan ke permukaan di tengah kaum Muslimin Indonesia adalah "Ponpes Al-Zaytun".

Dengan tampilan bangunan pesantren megah dan mewah, Al-Zaytun dirasa mampu mengakomodir dan memuaskan hasrat kaum yang mengusung pikiran radikalisme khilafah Islamiyah dan umat Islam pada umumnya. Di tengah kaum radikal mereka berakidah Khawarij kepada pemerintah, selalu nyinyir dan berburuk sangka. Di hadapan kaum Muslimin mereka berakidah Syi'ah dengan taqiyah nya yang penuh dengan berbagai intrik layaknya bunglon.

Mereka menafsirkan Al-Qur'an dengan hawa nafsu yang dikontektualkan secara keliru namun aplikatif. Karenanya mereka menyakini kerasulan tidak terhenti dengan wafatnya Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Kerasulan dikontektualkan dengan jabatan aparatur negara (mas'ul idariah) yang jelas bertentangan dengan akidah Ahlussunah wal Jamaah. Dengan mengedepankan tauhid mulkiyah, yakni target merebut kekuasaan dari pemerintah yang sah sehingga membakar semangat radikalisme di kalangan generasi muda dan meniadakan tauhid asma' was-shifat.

Dalam masalah fikih mereka mengontektualkan periode Makkah dan Madinah guna membius kaum radikal. Mereka menebarkan kesesatan tidak wajibnya shalat fardhu karena saat ini Islam belum wujud sebagai negara di Indonesia. Tapi anehnya syariat zakat dan semua persoalan uang dengan berbagai istilah-istilah fikih mereka terapkan dan paksakan kepada jamaahnya sehingga menghalalkan segala cara sekalipun harus mencuri di tempat bekerja dan lainnya.

Madinah bagi mereka bukan di Arab Saudi, tapi di Indramayu,  yakni di Ponpes Al-Zaytun. Siapa yang ikut ajakan mereka di- baiat dan dinyatakan telah berhijrah dengan diminta berganti nama. Kewalian jamaah wanita mereka yang belum menikah berpindah tangan dari ayah kandung kepada "imam" mereka. Adapun semua orang yang belum "hijrah" ke Al-Zaytun dianggap seperti halnya orang-orang kafir Makkah di zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Karenanya, siapa yang masuk menjadi jamaah mereka akan mengafirkan orang tuanya sendiri dan menghalalkan berbohong karena taqiyah bagi mereka adalah jihad. Nauzubillahi min dzalik.

 

 

Lambang-lambang dan simbol-simbol kenegaraan Republik Indonesia jadi barang ejekan di tengah jamaah NII Al-Zaytun. Lambang Burung Garuda disamakan dengan berhala. Presiden disamakan dengan thaghut (sesembahan selain Allah Ta'ala) dan Fir'aun. TNI-Polri disamakan dengan "lalat hijau". Rakyat Republik Indonesia diumpamakan dengan orang-orang kafir Makkah. Teks Proklamasi, Pancasila, UUD 1945 dan GBHN diumpamakan dengan undang-undang thaghut. KUHP dan KUHAP diejek sebagai penerapan undang-undang jahiliyah. 

Sudah saatnya pemerintah bertindak tegas kepada Ponpes Al-Zaytun dengan mengambil alih dan mengadili pihak-pihak yang bersalah. Keberadaannya yang ditujukan untuk menjaga stabilitas keamanan nasional dengan terjaringnya orang-orang berpemikiran "Islam radikal" telah menyimpang jauh dan merusak syariat Islam sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia. Bahkan yang dimunculkan dari pendirinya Al-Zaytun hanya keresahan yang justru dapat merusak stabilitas keamanan nasional dan citra pemimpin. Terlebih menjelang perhelatan Pemilu 2024 di tahun depan.

Kepada para pemimpin di Republik Indonesia, yang semoga Allah Ta'ala menjaga kalian dengan curahan taufiq dan hidayah-Nya. Memudahkan kalian dalam memimpin kami kepada jalan yang Allah Ta'ala ridhai. Menundukkan hati kami untuk mentaati kalian dalam ketaatan kepada Allah Ta'ala. Ketahuilah! Allah Ta'ala menjadikan tauhid sebagai pokok agama ini, bantulah kami dalam mentauhidkan-Nya. Allah Ta'ala menjadikan Sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dalam mendekatkan diri kepada-Nya, bantulah kami untuk meneladaninya. Inilah pokok agama kami, Islam. 

Wahai para pemimpin negeri ini! Allah Ta'ala dan Rasul-Nya memerintah kami untuk mentaati dalam ketaatan kepada-Nya dan tidak membangkang kepada kalian. Shalat di belakang kalian. Mendoakan kalian. Cintai dan kasihilah kami, niscaya Allah Ta'ala dan kami akan mencintai dan mengasihi kalian. Jangan adakan musuh dan propoganda bagi kami sehingga merusak agama dan dunia kami. Jangan biarkan mulut-mulut dan tangan-tangan jahat aparat intelejen hitam memperalat kami sehingga kami bermaksiat kepada Rabb kami.

Ketahuilah! Pemimpin pendosa tidak tinggal kecuali di tengah rakyat pendosa. Hingga karenanya hilanglah amanah dan rusaklah keamanan negeri. Muncullah pembangkangan dan huru-hara di penjuru negeri. Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah Ta'ala dalam jabatan yang telah diamanahkan-Nya kepada kalian. Tersebab siapa menanam kebaikan akan menuai kenikmatan di dunia dan akhirat. Sedang siapa menanam keburukan akan menuai petaka di dunia dan akhirat. Mumpung masih menjabat bertakwalah sebelum mangkat, saat itu tak berguna lagi pangkat.

 

Jakarta, 5 Dzulhijjah 1444 H

*** Editor: Al Chaidar, pengamat terorisme, dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.



BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler