Erdogan dan Sekjen NATO Bahas Perkembangan Terkini di Rusia

Selain kondisi Rusia, Erdogan dan Sekjen NATO juga membahas keanggotaan Swedia .

AP Photo/Ali Unal
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Sekjen Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg, Ahad (25/6/2023), melakukan pembicaraan di telepon membahas perkembangan terakhir di Rusia.
Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Sekjen Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg, Ahad (25/6/2023), melakukan pembicaraan di telepon membahas perkembangan terakhir di Rusia dan keanggotaan Swedia di NATO, menurut pernyataan Direktorat Komunikasi Turki.

Baca Juga


Selama pembicaraan tersebut, ditunjukkan bahwa berakhirnya ketegangan di Rusia mencegah terjadinya tragedi kemanusiaan yang tidak dapat dibatalkan di wilayah Ukraina.

"Disampaikan kepada Stoltenberg bahwa Turki berharap perkembangan terakhir di Rusia akan menjadi tonggak sejarah baru menuju perdamaian yang adil di Ukraina," ujar pernyataan bersama.

Pernyataan itu menegaskan pula bahwa Turki mempertahankan sikap konstruktifnya mengenai keanggotaan Swedia tetapi amendemen perundang-undangan tidak akan berarti selama pendukung PKK/PYD/YPG mengorganisasi demonstrasi secara bebas di negeri ini.

Selama 35 tahun lebih melakukan kampanye teror melawan Turki, PKK - yang terdaftar sebagai organisasi teroris oleh Turki, AS, dan Uni Eropa - bertanggung jawab atas kematian lebih dari 40 ribu orang, termasuk perempuan, anak-anak, dan bayi.

Pejabat Turki mengatakan bahwa Swedia mentoleransi dan bahkan mendukung anggota PKK di wilayahnya, dan bahwa langkah yang diambil untuk mengubahnya perlu dibuktikan sebelum dapat bergabung dengan aliansi tersebut.

Selanjutnya, digarisbawahi bahwa "ketidakadilan yang dihadapi dalam konteks F-35 dan upaya untuk mengaitkan permintaan Turki tentang F-16 dengan keanggotaan Swedia akan merugikan NATO dan keamanannya daripada Turki."

Sebelumnya, kelompok paramiliter Wagner menuduh pasukan Rusia, Jumat (23/6/2023), menyerang para pejuangnya sehinggakelompok tersebut kemudian menyeberang dari Ukraina ke kota Rostov-on-Don, Rusia.

Menanggapi hal itu, Dinas Keamanan Federal di Rusia menggugat pidana Wagner untuk "pemberontakan bersenjata." Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut pemberontakan Wagner sebagai tindakan "pengkhianatan."

PemimpinWagner Yevgeny Prigozhin kemudian mengemukakan bahwa pejuangnya memutuskan kembali guna menghindari pertumpahan darah ketika berjarak 200 kilometer dari Moskow, sedangkan Presiden Belarus Alexander Lukashenko mengatakan bahwa dia melakukan pembicaraan dengan pemimpinWagner atas persetujuan Putin, dan Prigozhin menerima kesepakatan de-eskalasi.

Selama beberapa bulan terakhir, Prigozhin telah berulang kali menudingKementerian Pertahanan Rusia dan Menteri Pertahanan Sergey Shoygu karena tidak memasok senjata yang cukup untuk kelompok paramiliter tersebut.

 

sumber : Antara/Anadolu
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler