Idul Adha 2023 Dirayakan Berbeda, Ingat Petuah Bijak Buya Hamka Ini
Pemerintah memutuskan Idul Adha pada 29 Juni 2023, sedangkan Muhammadiyah pada 28 Juni 2023.
MAGENTA -- Pemerintah dan Muhammadiyah tahun ini berbeda tanggal soal penentuan Hari Raya Idul Adha 1444 Hijriyah. Sidang isbat yang digelar Kementerian Agama memutuskan Hari Raya Idul Adha jatuh pada Kamis, 29 Juni 2023.
”Sidang isbat telah sepakat bahwa 1 Dzulhijjah 1444 H ditetapkan jatuh pada Selasa, 20 Juni 2023. Dengan demikian, Idul Adha 1444 H jatuh pada Kamis, 29 Juni 2023,” kata Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi saat konferensi pers sidang isbat, Ahad (18/6/2023) di Jakarta.
BACA JUGA: Niat dan Jadwal Puasa Sebelum Idul Adha 2023: Dzulhijjah, Arafah, dan Tarwiyah
.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menetapkan Idul Adha jatuh sehari sebelumnya, yakni Rabu, 28 Juni 2023. Penetapan tersebut berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Keputusan tersebut tertuang dalam maklumat Muhammadiyah Nomor 1/MLM/1.0/E/2023 yang ditandatangani oleh Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir beserta Sekretarisnya, Mohammad Sayuti pada 21 Januari 2023 lalu di Yogyakarta tentang penetapan hasil hisab ramadan, Syawal dan Zulhijah 1444H.
“Kepada warga Muhammadiyah dan umat Islam yang merayakan Idul Adha pada 28 Juni hendaknya senantiasa menjaga kerukunan, saling menghormati, dan menjaga ketertiban umum,” ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dikutip dari Muhammadiyah.or.id.
BACA JUGA: Orang Betawi Naik Haji, Tetangga Ikut Sibuk dari Berangkat Sampai Pulang
Perbedaan perayaan hari raya tidak kali ini saja...
Perbedaan Perayaan Hari Raya Beberapa Kali Terjadi
Soal perbedaan penetapan tanggal perayaan hari besar umat Islam tidak kali ini saja terjadi. Sebelumnya, pemerintah menetapkan Hari Raya Idul Fitri jatuh pada Sabtu, 22 April 2023. Sedangkan Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1444 Hijriyah jatuh pada Jumat, 21 April 2023.
Pada 1975, juga terjadi perbedaan penentuan tanggal Idul Adha di Indonesia dengan Arab Saudi. Ceritanya begini, suatu hari di tahun 1975, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) pernah ditanya soal perbedaan waktu Idul Adha di Indonesia dengan negara Arab Saudi.
BACA JUGA: Daftar Lokasi Sholat Idul Adha Muhammadiyah 28 Juni 2023 di Banten
.
Gegaranya waktu itu, Departemen Agama memutuskan Hari Raya Idul Adha 1395 Hijriyah jatuh pada Sabtu, 13 Desember 1975. Tiba-tiba, Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta menyiarkan Idul Adha jatuh pada Jumat, 12 Desember 1975.
Perbedaan itu mengakibatkan terjadi dua kubu di masyarakat. Ada golongan yang menganjurkan agar Sholat Idul Adha dilaksanakan pada Jumat sebab sudah wukuf pada Kamis. Ada yang berkeras mempertahankan keputusan semula, yaitu sholat Hari Raya Haji pada Sabtu, 13 Desember 1975, sesuai keputusan departemen agama setelah mendengar pertimbangan pimpinan majelis ulama dan ahli-ahli hisab dan rukyah.
Dalam buku 1001 Soal Kehidupan yang ditulisnya, Hamka mengawali jawaban dengan mengatakan jika Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha di seluruh dunia sama adalah satu hal yang baik sekali. Apalagi pada zaman sekarang dengan adanya alat-alat telekomunikasi yang cepat dapat menyampaikan berita di seluruh dunia.
Hal yang seperti itu mungkin bisa dicapai. Itulah sebabnya, jumhur ulama memandang persatuan umat dalam mengerjakan ibadah puasa dan hari raya adalah sangat dituntut.
BACA JUGA: Daftar Lokasi Sholat Idul Adha Muhammadiyah 28 Juni 2023 di Kota Palopo
Agama itu mudah...
Agama Itu Mudah
"Agama itu mudah," kata Buya Hamka dalam bukunya itu yang diterbitkan oleh Gema Insani, 2016.
Menurut Hamka, sangat sulit tercapai seluruh umat bisa berbarengan waktunya melaksanakan awal Ramadhan, sholat Idul Fitri, dan Idul Adha. Hanya pada negara-negara yang berdekatan saja yang bisa sama, yaitu yang satu mathla'. Adapun yang berjauhan mathla', seperti antara Andalus (sebelah barat) dan Khurasan (sebelah timur) tidak dapat disamakan.
BACA JUGA: Daftar Lokasi Sholat Idul Adha Muhammadiyah 28 Juni 2023 di DKI Jakarta
.
Pendapat ini diperkuat melalui hadits yang pernah terjadi pada zaman sahabat-sahabat Rasulullah, yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Kuraib, bahwa la datang ke Syam. la sampai di sana pada akhir bulan Sya'ban menjelang masuk bulan Ramadhan. la sendiri turut melihat bulan (rukyah hilal) ketika Ia berada di Syam.
"Saya melihat bulan itu pada malam Jumat," katanya.
Setelah beberapa hari di Syam, Kuraib kembali ke Madinah pada ujung bulan Ramadhan. Ia berkata, "Lalu bertanya kepadaku Ibnu Abbas dan dibicarakannya juga soal hilal itu. la bertanya, "Kapan kalian melihat hilal, saya jawab, "Malam Jumat."
Lalu Ibnu Abbas bertanya lagi, "Engkau sendiri melihat?" Kuraib menjawab, "Ya, saya lihat dan orang ramai pun melihatnya, maka puasalah orang ramai pada besoknya dan puasa pula Muawiyah itu sendiri."
Lalu Ibnu Abbas berkata, "Namun, kami melihat hal itu pada malam Sabtu, dan kami teruslah puasa sampai kami cukupkan bilangan tiga puluh hari, atau kami lihat hilal nanti."
Lalu Kuraib bertanya, "Tidakkah kallan padukan saja dengan Rukyah Muawiyah dan puasanya." Ibnu Abbas menjawab, "Tidak. Karena begitulah diperintahkan Rasulullah SAW, kepada kita"
Hadist ini disalin secara bebas, dirawikan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan at -Tirmidzi. "Hadits ini adalah hassan, shahh, dan gharib. Amalan menurut hadits ini pada sisi ahli ilmu, yaitu bahwa tiap-tiap negeri dengan rukyahnya sendiri."
"Hadits inilah yang menjadi pegangan seluruh dunia Islam itu, bukan lagi semata-mata di Tanah Arab, melainkan telah melebar meluas ke luar Arab, bahkan ke seluruh dunia," kata Buya Hamka.
BACA JUGA: Daftar 32 Lokasi Sholat Idul Adha Muhammadiyah 28 Juni 2023 di Depok
Petunjuk dengan melihat bulan...
Petunjuk dengan Melihat Bulan
Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 189: "Mereka itu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, "Itu adalah (petunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji..."
Berdasarkan ayat ini, pokok pertama dan utama dalam memulal ibadah, baik ibadah puasa Ramadhan maupun penutupan puasa Ramadhan (Idul Fitri) atau penentuan permulaan haji, dan menentukan perhitungan mengeluarkan zakat (haul) semuanya dihitung menurut bulan qamariah, bukan syamsiah.
BACA JUGA: Benarkah Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati Keturunan Tionghoa?
.
Caranya adalah apabila ada orang yang melihat hillal (yaitu bulan sabit, permulaan bulan baru di ufuk barat, sesudah terbenamnya matahari), lalu dilaporkannya kepada pihak yang berwenang atau penguasa di negeri itu.
Sesudah memeriksa keterangan-keterangan yang diberikan oleh pihak yang melihat bulan itu dengan menyuruhnya mengucapkan dua kalimat syahadat lebih dahulu setelah penguasa mempercayai berita itu. Lalu, disuruhlah menyiarkan berita itu kepada orang ramai dan dimaklumkanlah bahwa besoknya mulai puasa atau besok mulai Hari Raya Idul Fitri.
BACA JUGA: Kisah Soedirman: Guru SD yang Jadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat
Kala bulan haji, dilihat orang pula hilal permulaan Dzulhijjah dan dilaporkannya kepada penguasa, lalu dimaklumkanlah ke muka umum bahwa Hari Raya Haji akan jatuh pada 10 sesudah itu. Adapun di Makkah sendiri, ada tambahan khusus lagi, yaitu bahwa pada sembilan hari bulan akan wukuf di Arafah.
Cara yang begini adalah sunnah dari Nabi SAW, yaitu sebuah hadits Ibnu Abbas yang dirawikan oleh at Tirmidzi. Bahwa pada suatu hari, seseorang dari kampung (A'rabi) datang memberitahukan ia melihat hilal malam itu.
Lalu ia disuruh mengucap dua kalimat syahadat. Setelah Nabi percaya kepada kesaksian orang itu, baginda berkata kepada bilal. "Hai Bilal, beritahukan kepada masyarakat, puasa besok."
BACA JUGA: Pengertian Wukuf dalam Ibadah Haji dan Waktu Pelaksanaannya
Dari dalil-dalli sunnah Nabi itu, teranglah bahwa mengerjakan puasa atau haji itu dengan berjamaah. Maksud dengan jamaah adalah masyarakat kaum Muslimin. Pada zaman Rasulullah masih hidup, pimpinan jamaah itu adalah di tangan baginda sendiri.
Setelah Nabi SAW wafat, keputusan ituberada di tangan khalifah-khalifah yang menggantikannya. Setelah dunia Islam bertambah luas dan berkembang, jamaah kaum Muslimin itu dikepalai oleh amir atau sultan di daerahnya masing-masing.
"Lebih lebih setelah berkembang ilmu hisab, mulailah banyak orang yang puasa, berbuka, dan Hari Raya Haji menurut hisab saja. Perkumpulan-perkumpulan Islam seperti Muhammadiyah mengeluarkan pengumuman tiap tahun yang dijadikan pegangan oleh anggotanya dan orang yang menuruti paham yang diajarkannya," kata Buya Hamka. (MHD)
BACA JUGA:
▶ Idul Adha Sebentar Lagi, Apa Hukum Qurban dengan Biaya Utang?
▶ Khasiat Daun Salam Bisa untuk Obat Diabetes, Asam Urat, dan Radang Lambung
▶ Kocak, Pak AR Lulus Bikin SIM Meski Motor Dituntun Saat Praktik
▶ Apa Hukum Menunaikan Ibadah Haji Non-Kuota atau di Luar Prosedur Resmi?
▶ On This Day: 8 Juni 632 Nabi Muhammad SAW Wafat, Umar Bin Khattab Sempat tak Percaya