Wukuf di Arafah: Mengenang Gus Dur dan Leluhur, Ketika Surga dan Neraka Mendekat?

Tak melakukan wukuf di Arafah maka tidak berhaji

Republika.co.id
Infografis Wukuf Puncak Haji, Apa yang Dilakukan Jamaah Selama di Arafah?
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika


Bagi mereka yang belum pernah haji pasti penasaran, apa sih yang terasa dan dirasakan pada waktu menunaikan wukuf di Arafah. Yang pasti sejak mulai sore hari sebelumnya jamaah haji yang sudah berkumpul di Makkah mulai berangsur-angsur datang ke Arafah. Mereka datang kebanyakan menjelang malam tiba karena langsung bermalam di hamparan padang gurun yang kini menghijau berkat pohon yang dahulu merupakan hasil penelitian Institut Pertanian Bogor, yang mulai ditanam di lembah itu pada awal 1970. 

Namun, selain naik bus, banyak sekali jamaah haji yang memilih berjalan kaki sana. Mereka kebanyakan jamaah haji non-Indonesia. Mereka berjalan kaki ke Arafah selepas tengah malam. Tak peduli siapa pun, bahkan anak dan bayi banyak dibawa para orang tuanya ke sana.

Arafah memang kalau dilihat dalam foto arsip lama merupakan padang yang gersang. Bahkan, oleh serat Gatoloco yang dipakai untuk mengolok Islam sewaktu menjelang abad IX atas prakarsa pemerintah kolonial Belanda, menyebutkan bila kawasan itu tempat terkutuk karena penuh semak berduri dan tanamannya berdaun pahit beracun. Selain itu, di serat tersebut disebut jahanam karena hujan hanya turun setahun sekali.

Arafah sejak lama, bagi orang di kawasan nusantara ini kadung oleh kolonial dipeyorasi atau mendapat sebutan buruk. Ini misalnya lembah yang panas, tak ada air, dan berdebu mengepul-ngepul kala di tengah hari kawasan itu tertiup angin yang keras atau badai. Pokoknya, Arafah disebut tempat yang tak enak.

Namun, itu gambaran kuno. Cobalah datang ke Arafah, misalnya, sewaktu ke tanah suci untuk umroh. Lembah itu kini sedap dipandang. Tertata rapi. Di sana kalau hari biasa tidak ada tenda yang berdiri. Hanya kesiur dahan pohon yang terlihat di tengah gempuran angin panas padang pasir Arabia. Kini Arafah tak seseram yang dibayangkan dan diceritakan para penggemar serat Gatoloco itu.

Meski dahulu dianggap dan berusaha ditanamkan pemahaman oleh kolonial bahwa tempat itu penuh bahaya, tapi kini suasana kawasan itu sudah sangat berubah. Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia terlihat berusaha keras menjaga tempat itu. Ini semakin penting karena prosesi wukuf di Arafah bagi ibadah haji sangat esensial. Ingat! bagi siapa saja yang tidak datang ke Arafah pada 10 Dzulhijah antara pasca-tengah hari hingga matahari tenggelam (maghrib), ibadah haji mereka tidak sah. Tak peduli siapa pun dan dalam keadaan apa pun pada, hari itu bila seseorang ingin berhaji maka harus berada atau berhenti sejenak (waqf) di tempat itu pada waktu tersebut. 

 

 

 

Paham akan esensi ibadah haji itu melakukan wukuf, pada zaman sekarang, penyelenggara haji selalu mengadakan ‘safari wukuf’ bagi para jamaah yang sakit. Mereka akan dibawa dengan mobil ambulans ke luar dari ruang-ruang perawatan di rumah sakit ke kawasan Arafah Makkah.

Jadi, kini jangan heran bila sewaktu wukuf ditemui pemandangan adanya jamaah sakit dengan selang infus serta berbaring lemah berada di luar ambulans, yang mengakutnya agar bisa menghirup udara dan merasakan sengatan sinar matahari siang di Arafah. Kala itu para petugas haji dikerahkan untuk menyisir seluruh rumah sakit mencari jamaah yang harus melaksanakan wukuf.

Tentu saja, kala mengerjakan wukuf dengan berlindung di bawah tenda, tiba-tiba saja di samping tempat duduk atau berbaring ditemukan jamaah wafat. Padahal, dia baru saja datang bersama dari Makkah dalam kondisi sehat. Suasana horor ini oleh Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, digambarkan dengan frasa puisi mengenai suasa tenda di tenda Arafah ketika wukuf. Dia mengatakan saat itu kematian terasa tinggal kian sejengkal. Namun, sekaligus juga surga terasa begitu dekat. Tuhan dan matahari terasa di atas kepala.

 

 

 

 

Namun, apakah sewaktu wukuf terdengar takbir membahana seperti pada malam lebaran di Indonesia? Jawabnya, “Tidak!" Takbir hanya terdengar lirih dari dalam tenda-tenda. Jamaah haji terlihat banyak duduk termenung mengucapkan tasbih dan tahlil. Asma Allah mereka terus panggil dengan perasan hati penuh rindu. Maka di sinilah wukuf menjadi penting karena kala itu di tengah lautan tenda dan manusia yang mengenakan pakaian putih tak berjahit (ihram) kebesaran Allah digaungkan. 

Ritual inilah yang disebut seniman teater kondang Ratna Sarumpaet sebagai ‘teater mahabesar’. Ratna mengatakannya ketika ditemui sehari usai wukuf di supermarket Bin Dawood kawasan tak jauh dari Mina. Dia mengatakan, sang pelakunya adalah semua jamaah haji dan sutradaranya itu Allah SWT.

Lalu, apa yang terdengar di udara Arafah ketika jamaah haji wukuf? Sebelum kecamuk pandemi Covid-19--kala itu jamaah haji diperkirakan mencapai lebih dari 3 juta orang--saat itu yang terdengar hanya bunyi sirene ambulans dan deru lintasan helikopter yang menjaga dari udara kawasan itu sembari menyemprotkan air. Suasana mencekam ini terus berlangsung hingga seusai prosesi ibadah di Mina. Kala itu suara sangat bising dan hiruk-pikuk. Ambulans dan pemadam kebakaran bolak-balik mengecek keadaan.

Suasana wukuf di Arafah yang unik dan magis itulah yang paling terasa menyesak jantung ketika sudah berhaji. Tiba-tiba setiap Hari Raya Idul Adha dan melihat seorang haji atau hajjah yang lewat serta melihat laporan berita wukuf di Arafah melalui media, rasa rindu untuk datang ke Arafah saat puncak haji kembali terasa. 

Suasana inilah pula yang dahulu dirasakan Gus Dur ketika wukuf di Arafah. Saat itu ketika ditanya kalau apakah dia haji pasti akan wukuf? Dia kemudian menjawab, "Iya. Pasti. Ini karena itu syarat sahnya haji.” Kalau perkara lain di luar wukuf sepanjang jamaah masih hidup, seperti lempar jumrah, mabit, tawaf, bisa dibadalkan. Namun, kalau wukuf tak bisa!

Akhirnya, sewaktu wukuf itulah jamaah haji bisa merenungkan dan tahu seperti apa posisi dirinya di hadapan sang Mahasuci. Saat itu lazim muncul kenangan akan leluhur yang dahulu berhaji kembali terbayang di pikiran. Wajah mereka tampak lagi seperti melihat tayangan video di depan mata.

Lalu yang paling penting adalah kenangan pada sebuah ayat yang paling akhir di turunkan pada Rasullah saat mengerjakan haji wa’da. Frasa yang paling indah dari ayat itu, di antaranya ketika Allah berkata: "Hari ini aku sempurnakan agamamu dan hari ini aku ridhai Islam sebagai agamamu...."

Indah sekali, bukan?

 

 

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler