Jejak Bakti Jumi di Doa dan Linangan Air Mata Orang Tuanya Asal Ciamis Jelang Wukuf

Bakti anak kepada orang tua terekan sampai wukuf di Arafah

Muhammad Subarkah
Ayah Jumi ketika sedang wukuf di Arafah. Sepanjang wukuf dan hajinya dia selalu berlinang air mata dan mendoakan putrinya yang bernama Jumi. Dia yang pergi haji bersama isterinya yang bersal dari Ciamis, Jawa Barat, sellau terisak dengan menyebiuy kepergian haji ke tanah suci Makkah atas jasa putrinya yang daguku dia sekolahkan ke ITB.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Dr. Ari Yusuf Amir, SH, MH, Praktisi  Hukum dan Sekjen IKA UII Yogyakarta.

Ibadah haji adalah salah satu pilar Islam yang wajib dilaksanakan bagi mereka yang mampu, setidaknya sekali dalam hidup. Haji bukan sekedar prosesi formal lahiriah belaka. Haji sejatinya adalah lompatan spiritual menuju lorong-lorong penuh makna. Melalui Ibadah haji, diajaknya kita melakukan pembebesan diri. Bebas dari penghambaan pada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada tuhan Yang Sejati, Allah SWT. Ibadah haji menghantarkan kita pada penemuan jati diri sebagai manusia. 

Karena itu haji bukan semata ibadah yang diperuntukkan bagi kehidupan akhirat, tetapi juga kehidupan dunia. Artinya Allah SWT mengharapkan agar kita mengambil manfaat, hikmah, dan pelajaran dari ibadah haji untuk diterapkan dalam menjalani kehidupan dunia, agar kita bisa menjalani kehidupan di dunia sesuai dengan kehendak-Nya. Kegagalan kita dalam memaknai haji akan membuat haji kita sekedar tour yang menghasilkan kelelahan. 

Begitu agungnya ibadah haji sebagai rukun islam ke-5, semua ummat muslim di seluruh dunia selalu berdoa untuk bisa menunaikannya. Dari seluruh doa itu, Allah memilih hanya sebagian yang akan menjadi tamu-Nya disetiap tahun. Bila Allah sudah memanggil, tidak ada yang bisa menghalangi-Nya. Pada titik ini, banyak kisah yang membuat kita merinding haru mendengarnya. Bukan hanya pada prosesi ritual hajinya, tetapi cerita dibalik seseorang bisa di panggil oleh Allah menjadi tamu dirumah-Nya.        

 

Kisah Pak Tua dan Bakti Sang Anak

Pun yang saya jumpai dari perjalanan haji kali ini. Ketika hendak bersiap memulai wukuf di padang arofah. Saya ketemu dengan Bapak tua. Dari perawakannya, kira-kira berusia lebih dari 70 tahun. Selama ini saya perhatikan Pak Tua dan Istrinya ini sangat kewalahan berhadapan dengan kecanggihan teknologi di hotel berbintang 5 tempatnya menginap.

Bayangkan,  cara naik lift saja, ia sama sekali tidak mengerti. Bahkan pada saat makan pun, keduanya hanya diam, tidak tahu harus makan apa. Semua makanan yang tersaji di restoran hotel itu terlihat aneh baginya. 

Pagi itu, kebetulan tidak ada siapa-siapa, saya ajak si Bapak ini mengobrol. Dari penuturannya melela cerita yang sangat mengharukan. Ia mengaku berprofesi sebagai petani penggarap. Seumur-umur menjadi petani ia tak pernah punya lahan sendiri.

Ia hanya menggarap sawah orang dengan pendapatan yang pas-pasan. Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak pernah keluar dari kampungnya di daerah Ciamis untuk sekedar jalan-jalan. Sekalinya pergi jauh, ia langsung pergi haji dengan menggunakan pesawat kelas bisnis dan menginap di hotel bintang 5. Keduanya berangkat menggunakan Travel haji umroh kelas atas yang sangat terkenal dengan fasilitasnya yang mewah plus pelayanan yang berkelas. Tentu saja harganya pun selangit. Ceritanya membuat saya semakin penasaran. 

Setelah ngobrol ringan sekedar untuk mengenalkan diri, Si Bapak terlihat mulai merasa nyaman dengan saya. Sebelumnya Bapak ini memperlihatkan gestur khawatir dengan orang-orang disekitarnya yang menurutnya terlihat asing, tidak seperti orang-orang dikampung yang ramah baginya. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk mulai bertanya. Bagaimana ia dan istrinya dengan latar belakang seperti itu bisa berangkat haji dengan fasilitas kelas atas. 

Mendapatkan pertanyaan saya itu, si Bapak terdiam sejenak. Air matanya pun terlihat berlinang. Setelah bisa menguasai dirinya, ia lalu menyebut berkali-kali. 

“Jumi…..Jumi….. Jumi." 

“Dia yang menaikkan haji saya Pak” 

“Siapa Jumi itu Pak”, tanya saya penasaran

“Jumi itu anak perempuan saya,” terangnya

Si Bapak lalu melanjutkan, “Dulu dia saya sekolahkan di ITB. Saya rela bekerja apa saja untuk cari biaya sekolahnya.”

“Pernah suatu ketika, saya sempat putus asa ketika sudah beberapa tahun JUMI sekolahnya belum juga lulus, tetapi orang kampung bilang, sayang pak, Jumi sedikit lagi selesai, akhirnya saya kerja lebih keras supaya Jumi bisa lulus”

Si Bapak dengan air mata masih berlinang, terus melanjutkan ceritanya. “Saya sama sekali tidak menyangka Pak, JUMI bisa jadi orang sukses seperti sekarang.”

“Jumi juga belikan saya sawah, seumur hidup keluarga kami hanya kerjakan sawah orang, baru ini kami punya sawah sendiri Pak, berkat Jumi,” kisahnya lagi.

“Lalu gimana ceritanya si Jumi memberangkatkan haji Bapak?”, kejar saya. 

“Pagi itu saya lagi di sawah pak, (sawah saya sendiri). Tiba-tiba Si Mbokke teriak-teriak panggil saya. Pak’e..Pak’e…Jumi kasih kabar kalau kita akan berangkat haji. Jumi yang berangkatin. Kita harus segera berangkat ke Jakarta Pak’e katanya,'' kiAh bapak itu dengan wajah penuh haru.

Mendengar kabar yang tak terduga itu si Bapak mengaku kaget dan seakan tidak percaya. Membayangkan pun seolah tidak mungkin. Begitu sadar akan kuasa dan kasih sayang Allah akan datang pada siapapun yang Ia kehendaki, Si Bapak dan istrinya menangis haru.

Pada hari itu keduanya tak hentinya mengucap syukur. Mereka teringat, orang-orang dikampungnya harus menunggu puluhan tahun untuk antri haji dan menabung. Tapi Jumi, anak kebanggaannya yang ia perjuangkan dengan susah payah untuk bisa kuliah di ITB, bisa langsung menaikkan haji tanpa harus menunggu. Benar-benar kuasa Allah. 

 

 

 

Birrul Walidain dalam Islam

Bagi saya, kisah JUMI diatas syarat dengan nilai spiritualitas yang menjulang. Symbol bhakti sang anak pada orang tua. Kisah Jumi dan perjuangan orangtuanya benar-benar menjadi tauladan untuk kita semua. Dalam Islam, bhakti terhadap orang tua (birrul walidain) memang sangat dianjurkan. Islam bahkan menghukuminya sebagai perintah wajib, bukan sekedar untuk memenuhi adab kesopanan. Kita sering mendengar ada ungkapan yang tidak asing di telinga kaum muslimin, “ridho Allah bergantung dari ridho orang tua'. Ternyata, ungkapan ini memang benar adanya. Ungkapan tersebut dinukil dari hadits yang diriwayatkan oleh HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban, Hakim:


رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْ


"Ridho Allah SWT Bergantung dari Ridho Orang Tua, kemurkaan Allah SWT bergantung dari kemurkaan orang tua”

Tingginya kedudukan birrul walidain dalam Islam juga ditunjukkan oleh beberapa firman Allah dalam Al-quran.  Sebagaimana dalam Surat Luqman: 14: 

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu."

Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al Mishbah menjelaskan bahwa melalui surat Luqman ayat 14 kita ditunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua menempati urutan kedua setelah manusia menyembah dan mengagungkan Allah SWT. 

Bahkan dalam Islam perintah birrul walidain tidak hanya dilakukan pada saat kedua orang tua masih hidup, tetapi juga ketika mereka sudah meninggal. Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi, berkata, “Ketika kami berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

 نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا

“Iya mendoakan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Semua narasi diatas menjunjukkan betapa pentingnya kedudukan birrul walidain dalam islam. Disinilah salahsatu bukti keindahan ajaran islam sebagai agama yang memberi rahmat bagi semesta alam melalui keagungan tuntunan dan ajarannya dalam merawat peradaban. Berbuat baik dengan orang tua juga memberi manfaat pada keharmonisan keluarga, sebagai pilar penting kejayaan sebuah bangsa. Bukankah bangsa yang besar lahir dari keluarga-keluarga yang hebat. Dalam konteks ini birrul walidain menjadi kunci.   

Disinilah kisah Jumi bisa kita maknai. Semoga lahir Jumi-Jumi yang lain.

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler