Studi: Muslim Jerman Hadapi Diskriminasi dan Kekerasan Setiap Hari
Perempuan Muslim berjilbab harus menghadapi bentuk permusuhan dramatis.
REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Sebuah laporan baru terkait kehidupan Muslim di Jerman diluncurkan oleh Kementerian Dalam Negeri negara tersebut. Hasilnya menunjukkan Muslim di Jerman sering menghadapi diskriminasi, kebencian, bahkan kekerasan yang merajalela dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Kelompok Ahli Independen tentang Permusuhan Muslim (UEM) menganalisis studi ilmiah, statistik kejahatan polisi, serta dokumentasi insiden anti-Muslim oleh lembaga antidiskriminasi, pusat konseling dan organisasi non-pemerintah.
Sebuah laporan komprehensif setebal 400 halaman pun diterbitkan oleh panel independen yang beranggotakan 12 orang. Untuk membuat laporan ini dibutuhkan waktu tiga tahun, yang akhirnya dipresentasikan di kementerian dalam negeri pada Kamis (29/6/2023) lalu.
Menurut UEM, setidaknya sepertiga Muslim di Jerman mengalami permusuhan karena agama mereka. Meski demikian, para ahli menegaskan jumlah sebenarnya kemungkinan lebih tinggi, karena hanya 10 persen Muslim yang melaporkan permusuhan dan kejahatan rasial.
“Kehidupan Muslim adalah milik Jerman dan suatu hal yang lumrah. Namun sebagian besar dari 5,5 juta Muslim di Jerman mengalami pengucilan dan diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kebencian dan kekerasan,” kata Menteri Dalam Negeri Nancy Faeser, dalam sebuah pernyataan usai menerima laporan tersebut, dikutip di Aljazirah, Sabtu (1/7/2023).
Penting untuk membuat laporan ini terlihat bagi banyak pihak...
Ia pun menyebut penting untuk membuat laporan ini terlihat bagi banyak pihak, serta meningkatkan kesadaran akan kebencian yang masih meluas.
Para ahli lebih lanjut menyampaikan Muslim Jerman tidak hanya terpapar rasisme, tetapi juga stereotip sehari-hari dari taman kanak-kanak hingga usia tua. Bahkan, Muslim kelahiran Jerman secara luas dipandang sebagai hal yang asing dan Islam dianggap sebagai agama terbelakang.
Menurut laporan itu, perempuan Muslim yang mengenakan jilbab disebut harus menghadapi bentuk permusuhan yang sangat dramatis. Dalam analisis budaya populer, laporan itu menemukan hampir 90 persen film yang ditonton panel menampilkan pandangan negatif terhadap Muslim. Sering kali mereka dikaitkan dengan serangan teror, perang, serta penindasan terhadap perempuan.
Mantan menteri dalam negeri Horst Seehofer meluncurkan komisi itu pada 2020, setelah seorang sayap kanan Jerman membunuh 10 orang dan melukai lima lainnya dalam aksi penembakan anti-Muslim di pusat kota Hanau.
Serangan itu mengejutkan negara dan mendorong kelompok hak asasi membunyikan peringatan tentang sentimen Islamofobia di Jerman. Saba-Nur Cheema, salah satu dari 12 ahli di panel itu, mengatakan laporan tersebut juga mengungkapkan rincian tentang prasangka terhadap Muslim yang disebutnya anonim dan halus.
"(Menurut laporan) hampir separuh penduduk di Jerman percaya Islam bukan milik Jerman, atau sepertiga penduduk merasa asing (di Jerman) karena Muslim yang tinggal di sini,” kata dia.
40 persen orang Jerman tidak menerima wali kota Muslim...
Selain itu, ia mengatakan laporan tersebut menemukan sekitar 40 persen orang di negara itu tidak akan menerima wali kota Muslim. Para ahli mengatakan sikap seperti itu mempengaruhi kehidupan sehari-hari umat Islam di Jerman.
"Itu adalah sesuatu yang kami sebut diskriminasi struktural, di mana Muslim dikecualikan dari pekerjaan dan atau ketika mereka mencari perumahan," lanjut Cheema.
UEM lantas merekomendasikan agar pemerintah membentuk gugus tugas yang berfungsi untuk mengatasi bias terhadap Muslim dan clearing house pusat untuk mengumpulkan pengaduan. Selanjutnya, pelatihan diperlukan di pusat penitipan anak dan sekolah, kantor polisi, kantor pemerintah, serta outlet media dan perusahaan hiburan. Tujuannya melawan citra negatif umat Islam, sementara buku pelajaran dan rencana pelajaran harus dirombak.
Komunitas Muslim Jerman beragam, dengan mayoritas mengaku berasal dari Turki. Muslim lainnya awalnya berimigrasi dari negara-negara Arab seperti Maroko atau Lebanon.
Banyak yang pertama kali datang ke Jerman Barat lebih dari 60 tahun yang lalu, ketika mereka direkrut sebagai pekerja tamu, untuk membantu negara maju secara ekonomi.