Bank Dunia Sebut Indonesia Tahan Guncangan Eksternal, Ekonom: Pujian Semu
Kinerja eksternal diraih dengan cara artifisial yang mahal.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas) menilai pujian Bank Dunia terkait Indonesia lebih tahan banting terhadap guncangan eksternal merupakan hal yang semu. Sebab Indonesia menyembunyikan fakta bahwa stabilitas eksternal Indonesia diraih dengan cara artifisial yang mahal.
Direktur Ideas Yusuf Wibisono mengatakan dari indikator cadangan valas dan nilai tukar Rupiah, benar Indonesia termasuk berkinerja cukup baik. Cadangan valas meningkat dari 137 miliar dolar AS pada akhir 2022 menjadi 139 miliar dolar AS pada akhir Mei 2023 dan saat yang sama Rupiah hanya terdepresiasi 4,6 persen.
Namun masalahnya terkait kinerja eksternal diraih dengan cara artifisial yang mahal, yaitu bergantung pada kebijakan suku bunga tinggi.
“Kenaikan suku bunga untuk menjaga nilai tukar adalah kebijakan artifisial yang mahal, dan sangat tidak berpihak kepada pemulihan sektor riil,” ujarnya ketika dihubungi Republika, Ahad (2/7/2023).
Sebelumnya, pada 2022, Rupiah melemah dan cadangan devisa turun, yg disebabkan dua faktor utama. Pertama, fenomena ‘strong dollar’ akibat suku bunga tinggi di Amerika Serikat. Adapun era suku bunga tinggi masih berlanjut karena inflasi di Amerika Serikat yang meski telah turun namun masih di atas target inflasi The Fed yang hanya dua persen, sehingga The Fed masih akan terus mempertahankan suku bunga level yang tinggi.
Kedua, masalah domestik yaitu rendahnya pasokan dollar di pasar valas. Adanya neraca perdagangan surplus besar karena kinerja ekspor komoditas yang harganya melonjak, cadangan devisa 2022 justru berkurang 7,7 miliar dolar AS.
“Hanya ada satu alasan mengapa pasokan dollar terbatas yaitu pendapatan devisa hasil ekspor tidak kembali ke Indonesia, terlebih konversi ke Rupiah, sehingga dolar dari devisa hasil ekspor tidak beredar di pasar,” ucapnya.
Menurutnya devisa hasil ekspor tidak kembali ke tanah air ini, salah satunya sebagai implikasi dari rezim devisa bebas yang diadopsi. “Adanya rezim devisa bebas, penduduk yang memiliki devisa bebas menggunakan devisanya apa saja,” ucapnya.
Yusuf menyebut devisa hasil ekspor banyak tidak kembali ke Indonesia tidak hanya karena pengusaha membutuhkan devisa kebutuhan impor mereka atau untuk membayar utang valas, namun seringkali karena posisi hold dolar menjadi pilihan menguntungkan spekulasi dan yang paling jelas adalah bunga deposito dolar yang jauh lebih tinggi bank luar negeri, seperti di Singapura, dibandingkan bank di Indonesia.
“Hal ini ironis dan terlihat amoral karena devisa hasil ekspor yang dihasilkan dr kekayaan alam negara digunakan keuntungan pribadi semata diatas kerugian rakyat berupa instabilitas Rupiah,” ucapnya.
Menurutnya dasar acuan Indonesia sangat jelas, yaitu konstitusi, pasal 33 UUD 1945 secara jelas mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya digunakan sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Devisa hasil ekspor terutama dari sumber daya alam harus memberi manfaat sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, yaitu untuk menstabilkan Rupiah.
Bank Indonesia menyelesaikan masalah rendahnya pasokan dollar dari devisa hasil ekspor dengan menciptakan instrumen penempatan devisa hasil ekspor dengan imbal hasil setara bunga deposito dolar bank Singapura kisaran empat persen pada 2023. Hal ini yang menjelaskan mengapa pada 2023 kinerja eksternal kita membaik, dimana cadangan valas meningkat dan pelemahan Rupiah terbatas.
“Kebijakan BI dengan menciptakan term deposit bagi valas dari devisa hasil ekspor, selain mahal karena sangat bergantung pada suku bunga pasar komersial, tidak relevan dan bahkan amoral karena malah justru memberikan insentif dan subsidi bagi tindakan yang sangat tidak mencerminkan nasionalisme ekonomi,” ucapnya.
Menurutnya respon kebijakan Bank Indonesia seharusnya adalah mereformasi kebijakan devisa hasil ekspor dari hanya sekedar kewajiban pelaporan dan pencatatan devisa hasil ekspor suda ditempatkan di dalam negeri dan dengan sanksi yang cenderung ringan, menjadi rezim repatriasi dan konversi devisa hasil ekspor ke Rupiah, dengan sanksi yang memberikan efek jera atas pelanggaran.
“Pemerintah dan BI tidak perlu ragu untuk mereformasi sistem devisa bebas kita, yang selama ini sangat didukung lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Kita tidak perlu beralih secara drastis ke sistem kontrol devisa, kita cukup melakukan kontrol devisa secara terbatas,” ucapnya.
“Katakan misalnya menerapkan kewajiban repatriasi devisa hasil ekspor dan kewajiban konversi devisa hasil ekspor ke rupiah hanya 25 persen saja. Jadi di satu sisi ketidakpastian pasar valas bisa ditekan dengan pasokan dolar yang memadai namun sisi lain pengusaha pemilik devisa hasil ekspor juga masih tetap memegang devisa hasil ekspor dalam jumlah signifikan,” ucapnya.