Di-bully Satu Sekolah, Bolehkah Muslim Menaruh Dendam?
Rasulullah SAW telah mencontohkan adab ketika dizalimi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus bullying masih sering terjadi di berbagai belahan dunia, tak jarang pula menyebabkan korbannya mengalami batin, luka fisik, bahkan hingga meninggal dunia. Jika dihadapkan dengan perisak alias pelaku bullying, apakah Muslim yang menjadi korban dibenarkan untuk balas dendam?
Ustadz Achmad Farid Hasan mengingatkan, mendendam jelas dilarang dalam agama Islam. Bagaimana kalau tidak tahan dengan perasaan marah yang berkecamuk?
"Allah memerintahkan untuk selalu bersabar dalam menyikapi segala ujian," ungkap Ustadz Farid saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (2/7/2023).
Ustadz Farid menjelaskan bahwa salah satu ciri dunia adalah selalu ada ujian dari Allah SWT. Ini juga tecermin sebagaimana para Rasul banyak diuji oleh Allah SWT, dan tidak ada yang pernah menaruh dendam.
Bagaimana dengan kasus seorang anak yang membakar sekolah setelah mengalami bullying oleh teman dan guru? Ustadz Farid menuturkan, di satu sisi, saat ini banyak keluarga yang rapuh dalam aspek agama dan ekonomi, sehingga dampaknya pasti ke anak-anak.
"Semakin banyak keluarga yang rapuh, akan semakin banyak anak-anak yang nakal, dan bertemu dalam komunitasnya, dengan permasalahan yang sama," papar Ustadz Farid.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, menurut Ustadz Farid, harus hadir dalam merespons masalah kenakalan anak-anak ini. Salah satunya dengan cara banyak membina keluarga dari aspek agama dan ekonominya serta memantau lingkungan anak bertumbuh.
Orang tua juga harus selalu sadar dan mendoakan anak-anak mereka dengan sungguh-sungguh. Dengan harapan anak-anak terhindar dari sifat bengis dan dijauhkan dari anak-anak bengis pula.
"Mohon agar anak-anak menjadi anak yang soleh, tidak nakal," ucap dia.
Ustadz Farid yang juga Pendiri Yayasan Islamic Course Asy-Syarif Jakarta, mengatakan, balasan atas perbuatan manusia, baik dan buruk, juga telah diterangkan dalam surat Al Anam ayat 160. Ia menyerukan, meski disakiti, berusahalah untuk medoakan hal-hal baik kepada pelaku.
"Siapa yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan 10 kali lipatnya. Siapa yang berbuat keburukan, dia tidak akan diberi balasan melainkan yang seimbang dengannya. Mereka (sedikit pun) tidak dizalimi (dirugikan)" (QS Al An'am: 160).
"Rasulullah meskipun banyak disakiti dan dizalimi, tapi tidak pernah mendoakan mereka dengan balasan buruk. 'Aku diutus untuk menjadi rahmat bagi alam semesta, aku tidak diutus untuk melaknat', kata Rasulullah SAW dalam sebuah hadits," ucap ustadz Farid.
Sementara itu, Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti memprotes sikap polisi terhadap remaja berusia 13 tahun berinisial R, terduga pelaku pembakar sekolah akibat perundungan. R dinilai ditampilkan secara berlebihan oleh pihak kepolisian dalam sebuah konferensi pers.
Dalam konferensi pers itu ditampilkan seorang polisi berseragam yang memegang senjata laras panjang di hadapan R. Retno menduga polisi tidak memahami UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan Konvensi Hak Anak. Retno meyakini apa yang dilakukan kepolisian berpotensi kuat melanggar UU SPPA dan UU Perlindungan Anak.
"Meski R telah melakukan tindak pidana pengrusakan, namun R yang masih berusia 13 tahun seharusnya tidak perlu ditampilkan dalam konferensi pers, apalagi didampingi polisi dengan senjata laras panjang, padahal R tidak akan mampu melarikan diri dan melawan aparat," kata Retno dalam keterangannya pada Ahad (2/7/2023).
Dalam UU No 11 Tahun 2012 pada Pasal 19 (1) disebutkan identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Adapun ayat (2) memerinci apa saja yang merupakan identitas anak meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.
"Menampilkan R dalam konferensi pers meski menggunakan penutup wajah sekalipun, sudah berpotensi kuat ikut mengungkap jati diri anak," ujar Retno.
Retno juga khawatir perlakuan kepolisian yang berlebihan dapat berdampak pada hilangnya hak melanjutkan pendidikan karena R berpotensi tidak diterima lagi oleh sekolah manapun. Kalaupun R sudah menjalani proses hukum nantinya, Retno mensinyalir R tetap kesulitan mendapatkan sekolah yang mau menerimanya melanjutkan pendidikan.
"Padahal, R berhak mendapatkan pendidikan meski sebagai pelaku pidana sekalipun, karena dia masih anak di bawah umur. Anak R juga berhak melanjutkan masa depannya meski pernah dihukum sekalipun," ucap eks Komisioner KPAI itu.