Penyelenggaraan Haji dan Perubahan Iklim

Panas global akibat perubahan iklim sangatlah nyata dan ilmiah.

Dok MCH 2023
Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi 1444 H terus melakukan upaya preventif untuk mengantisipasi jamaah haji yang melempar jumrah di jamarat tidak kelelahan.
Red: Ferry kisihandi

Oleh Mudhofir Abdullah Widyodiningrat, Rektor UIN Raden Mas Said Surakarta 


 

REPUBLIKA.CO.ID, Dari tahun ke tahun, pembenahan penyelenggaraan haji terus dilakukan pemerintah, c.q. Kementerian Agama. Ini dilakukan untuk memberi pelayanan prima kepada para jamaah. 

Pada 2022, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Kepuasan Jamaah Haji Indonesia mencapai 90,45 atau kategori sangat memuaskan. Prestasi ini tertinggi dari 11 kali BPS melakukan survei IKJHI sejak 2010.

Prestasi tersebut tidak mengendurkan semangat Kemenag untuk terus berkinerja terbaik dalam penyelenggaraan haji tahun berikutnya, yakni 2023/1444 H. 

Untuk mengejawantahkan komitmen ini, Menteri Agama (Menag) selaku Amirul Haj memobilisasi seluruh peralatan yang tersedia (SDM dan anggaran) untuk memastikan pelaksanaan tahun 2023 berjalan baik. 

Bagi Menag Yaqut Cholil Qoumas, pelayanan prima untuk jamaah haji adalah kemutlakan dan karenanya beliau terjun langsung tanpa lelah melihat detail faktual di lapangan. Namun, mengelola ratusan ribu jamaah di antara dua juta jamaah haji dunia tahun ini tidaklah mudah. 

Problem akomodasi, transportasi, komunikasi, pelayanan kesehatan, fasilitas mandi, kecukupan air, dan lain-lain dalam situasi tertentu sering tidak terduga bisa terjadi— terutama pada saat puncak haji di Armuzna atau Armina (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). 

Dengan luasan Armuzna sekitar 52 km2, maka saat puncak haji, tiap satu jamaah haji hanya punya ruang 0,8 m—lebih kecil dari ukuran liang lahat. 

Dalam kepadatan semacam ini, ditambah suhu tinggi berkisar antara  37-43 derajat Celsius (bahkan pernah mencapsi 53 derajat Celcius dalam sejarah haji), maka kondisi fisik dan psikis jamaah haji sangat rentan. Kesalahan apapun dalam kondisi semacam ini harus dicegah. 

Itulah sebabnya, Menag Yaqut Cholil Qoumas memprotes keras personel Mashariq (perusahaan penyedia layanan haji lengkap untuk Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Thailand) ketika tidak memenuhi standar pelayanan yang telah ditentukan. 

Menag dengan nada keras menolak kompensasi kelalaian Mashariq dalam kasus keterlambatan distribusi konsumsi, transportasi, dan fasilitas akomodasi di Armuzna. Persiapan dan langkah pre-emtif dilakukan dengan baik dan terukur, tapi tak tereksekusi optimal oleh Mashariq.

Secara umum, satu-dua kasus semacam ini tak terhindarkan dialami bukan hanya oleh jamaah kita, juga berbagai negara. Menag dengan penuh sadar dan detail mencegah kasus-kasus yang tidak diinginkan terjadi. 

Sebagai pengirim jamaah haji terbesar di dunia, Indonesia melakukan langkah-langkah optimal dari sejak masa persiapan, pelaksanaan, dan pascapelaksanaan dilanjutkan evaluasi komprehensif untuk perbaikan penyelenggaraan haji tahun berikutnya.

Patut bersyukur

Dunia Islam patut bersyukur musibah besar haji tak terjadi dalam rentang lama (seperti tragedi  Terowongan Al-Muaisim Mina pada 1990 dan tragedi jatuhnya crane yang menewaskan ratusan hingga ribuan jamaah haji pada 2015) berkat kerja keras Pemerintah Arab Saudi dalam pembenahan infrastruktur dan tata kelola haji serta kerja sama komprehensif dengan negara pengirim jamaah haji. 

Selanjutnya, saat pandemi Covid-19 melanda dunia, berkat informasi-informasi ilmiah tentang daya tular dan bahaya virus ini, Arab Saudi menghentikan pelaksanaan ibadah haji dan umrah bagi dunia luar.  

Publik makin sadar ibadah haji bukan semata-mata peristiwa teologis yang sepenuhnya aman dari kendala-kendala.

Sebutan jamaah haji sebagai ‘dhuyufu al rahman’ (para tamu Allah) tidak lantas menghentikan upaya nyata dari banyak pihak untuk menyediakan layanan haji yang terukur dan terkendali berbasis ilmu pengetahuan, bukan berbasis takdir.

Pemerintah Arab Saudi telah melakukan berbagai transformasi infrastruktur haji, peningkatan keamanan, fasilitas kesehatan, dan lain-lain. Semua ini untuk menjamin pelaksanaan ibadah haji makin nyaman dan berkualitas. 

Visi 2030 dari Pangeran Mohamed Bin Salman yang ingin mengurangi ketergantungan pendapatan negara pada minyak, mendorong perbaikan sektor pariwisata—termasuk haji yang merupakan pendulang devisa terbesar kedua negara setelah minyak. 

Visi 2030 dari MBS—sebutan Mohamed Bin Salman—menunjukkan visi yang sangat jauh ke depan yang memikirkan tentang kelangsungan bangsa ini pascaminyak. 

Menarik, Visi 2030 MBS memperhitungkan kelangsungan negerinya di tengah ancaman krisis energi, lingkungan, dan perubahan iklim. Visi MBS adalah visi dunia yang sedang berbagi bersama tentang dampak perubahan iklim bagi kelangsungan bangsa-bangsa. 

Dilihat dari sudut teologis, Arab Saudi yang di dalamnya ada dua Kota Suci, Makkah dan Madinah sangat penting bagi dunia Islam. Peristiwa tahunan, ritual haji, jutaan umat Islam pergi ke dua kota tersebut untuk menunaikan ibadah haji .

 

Tak ada ruang penalaran ilmiah untuk, misalnya, menduplikasi Kabah ke kota atau negara lain. Atau menjadikan musim haji lebih dari satu kali setahun. 

Itulah sebabnya, haji adalah ibadah paling kompleks dan penuh keringat yang dari tahun ke tahun selalu menemukan tantangan dan masalah baik oleh Arab Saudi sendiri maupun negara pengirim, terutama sekali Indonesia dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia.

Saya membayangkan, mengikuti garis argumen para ahli perubahan iklim, jika di masa depan terjadi kenaikan suhu global 1-2 derajat Celcius, maka nasib penyelenggaraan haji makin rumit dan kompleks. 

Mengapa? Kenaikan suhu global bumi 1-2 derajat Celcius berarti akan menaikkan suhu di Arab Saudi, India, dan lain-lain menjadi sekitar 70 derajat Celcius; sungai-sungai di sepanjang garis khatulistiwa mengering; dan negara-negara pulau tenggelam oleh mencairnya es di Kutub Utara dan Selatan. 

Dalam konteks ibadah haji yang sering dikaitkan dengan teologi dan keyakinan, pengiriman jamaah haji akan berlanjut tanpa memperhitungkan akibat-akibat suhu panas ini. 

Dua juta peserta haji sangat mungkin tewas terpanggang dan atau Arab Saudi harus menyediakan mesin-mesin pendingin serta air yang sangat mahal untuk melindungi ‘tamu-tamu Allah’ ini.

Panas global akibat perubahan iklim sangatlah nyata dan ilmiah. Tanda-tandanya sudah sangat terasa, mulai dari musim yang kacau; gagal panen yang berulang; hujan asam di di sejumlah kawasan; naiknya permukaan laut; munculnya jenis-jenis mikroba; dan lain-lain. 

Pandemi Covid-19 sepanjang 2019-2022 menyadarkan kita semua tentang ganasnya serangan pandemi yang melumpuhkan sendi-sendi kehidupan. Umat Islam modern baru menyaksikan ibadah haji ditutup selama 3 tahun akibat pandemi ini. 

Saat Pandemi Covid-19 menutup ibadah haji dan shalat berjamaah di masjid atau tempat-tempat ibadah dilarang menyelenggarakan kebaktian atau sembahyang, sebagian umat agama protes dan menganggap pemerintah sebagai tidak percaya perlindungan Tuhan.

Garis argumen di atas mengingatkan, dalam beribadah sekalipun itu perintah Allah, seperti ibadah haji, pada dasarnya tidaklah otomatis aman dan bebas dari kendala.

Upaya-upaya terencana dan ilmiah adalah mutlak dilakukan demi terjaminnya eksekusi di lapangan. Selanjutnya doa-doa dipanjatkan setelah segala upaya dikerjakan.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler