Kirim Petisi Tolak RUU Kesehatan ke Jokowi, Forum Guru Besar: Banyak Kontradiksi!
Forum Guru Besar kirim petisi tolak RUU Kesehatan ke Jokowi karena banyak kontradiksi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dokter spesialis kandungan dan perwakilan Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) Prof Laila Nuranna Soedirman mengatakan, pihaknya mengidentifikasi banyak isu serius dalam RUU Kesehatan yang hendak disahkan. Sebab itu, kata dia, FGBLP memutuskan untuk mengirimkan petisi dari 84 Guru Besar dan Profesor tenaga kesehatan kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani untuk menunda pengesahan RUU Kesehatan.
“Kami melihat RUU Kesehatan saat ini memiliki sejumlah isu serius yang berpotensi mengganggu ketahanan kesehatan bangsa. Karenanya, kami mengusulkan RUU ini ditunda pengesahannya,” kata Prof Laila dalam konferensi pers daring di Jakarta, dikutip Senin (10/7/2023).
Dia berharap, ke depan ada revisi yang lebih komprehensif dan kredibel dengan melibatkan tim profesional kepakaran serta semua pemangku kepentingan. Tujuannya, demi meningkatkan kualitas dan kesempurnaan isi RUU Kesehatan.
Dia memerinci, setidaknya ada empat isu yang menjadi pokok perhatian. Pertama, penyusunan RUU Kesehatan yang tidak secara memadai memenuhi asas krusial pembuatan undang-undang, yaitu keterbukaan atau transparan, partisipatif dan kejelasan landasan pembentukan serta kejelasan rumusan.
Kedua, kata dia, tidak adanya urgensi dan kegentingan yang mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan saat ini. Apalagi, dia menyinggung jika RUU Kesehatan akan mencabut sembilan undang-undang terkait kesehatan dan mengubah empat undang-undang lainnya.
“Padahal hampir semua undang-undang tersebut masih relevan digunakan dan tidak ditemukan adanya redundancy dan kontradiksi satu sama lain,” jelas dia.
Ketiga, lanjut Prof Laila, berbagai aturan dalam RUU Kesehatan malah bisa memantik destabilitas sistem kesehatan serta menganggu ketahanan kesehatan bangsa. Menurut dia, sejumlah pasal dalam RUU Kesehatan malah tidak kondusif dan menunjukkan ketidakberpihakan kepada ketahanan kesehatan bangsa yang adekuat.
“Di antaranya, (a) hilangnya pasal terkait mandatory spending yang tidak sesuai amanah Abuja Declaration WHO dan TAP MPR RI X/MPR/2001, (b) munculnya pasal-pasal terkait multi-bar bagi organisasi kesehatan,” katanya.
Tak sampai di sana, faktor ketiga dalam pokok ini, dia nilai juga bisa memudahkan dokter asing masuk ke negara ini tanpa menguntungkan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih memerangi kemiskinan. “Kemudian (d) implementasi proyek bioteknologi medis yang mengakibatkan konsekuensi serius pada biosekuritas bangsa. Dan (e) kontroversi terminologi waktu aborsi,” jelasnya.
Isu Keempat atau terakhir yang menjadi permasalahan, lanjut dia, adalah pengesahan RUU Kesehatan yang menuai banyak kontroversi. Dia menjelaskan, RUU Kesehatan ke depan, bisa melahirkan kelemahan penerimaan dan implementasi undang-undang yang bermuara pada konflik, kurangnya legitimasi undang-undang, serta minimnya partisipasi kolektif.
“Kami mohon dan berharap kiranya masukan ini menjadi pertimbangan serius bagi Bapak Presiden dalam menentukan proses selanjutnya dari RUU Kesehatan ini,” ucap dia.