Refleksi Hijrah

Hijrah bukan hanya sekedar pindah tempat, tapi bagaimana merubah diri menjadi pribadi yang lebih bermanfaat. Bukan hanya untuk diri saja, namun untuk sebanyak-banyaknya umat.

retizen /Adhyatnika Geusan Ulun
.
Rep: Adhyatnika Geusan Ulun Red: Retizen
Ilustrasi Hijrah. (pribadi)

Oleh: Adhyatnika Geusan Ulun


Hijrah bukan hanya sekedar pindah tempat, tapi bagaimana merubah diri menjadi pribadi yang lebih bermanfaat. Bukan hanya untuk diri saja, namun untuk sebanyak-banyaknya umat.

Mengkaji hijrah seakan tidak pernah habis untuk dibahas. Sama halnya saat mempelajari perjalanan sejarah Baginda Rasul Muhammad SAW. Teramat banyak pembelajaran yang dapat dipetik dari keduanya. Bagaikan samudera yang dalam, dan seperti luasnya langit tak bertepi. Dari merekalah semua awal hikmah perjalanan manusia menuju perbaikan peradaban.

Menarik untuk dikaji saat Rasulullah dan para sahabatnya melakukan perjalanan suci ke Yatsrib. Mereka harus rela meninggalkan segala kesenangan duniawi yang telah susah payah diperolehnya di Makkah. Padahal, tempat yang dituju belum diketahui pasti akan menyajikan posisi seperti sebelumnya. Hanya kepatuhan akan perintah Allah yang disampaikan Utusan-Nya lah yang menjadi sandaran hidup dan destinasi akhir mereka sesungguhnya.

Hal di atas menjadi hikmah pertama bahwa ketaatan kepada satu aturan akan menjadi energi yang luar biasa dalam perjuangan hidup. Seberat apapun pengorbanan yang dilakukan diyakini akan berbuah kebahagiaan dikemudian hari. Hal tersebut tertanam dalam sanubari setiap Muhajirin ketika memulai hijrahnya.

Kemudian, perjalanan yang melelahkan dengan mengarungi lautan gurun yang panas menyengat di siang hari dan membekukan darah di malam hari, tidak menyurutkan para penegak kalimat Allah. Justru itulah pembelajaran selanjutnya yang diberikan kepada umat setelahnya. Di saat lika-liku jalan perjuangan yang penuh onak duri menjadi spirit agung dalam meraih suatu cita-cita mulia. Bahwa setiap perjuangan selalu menuntut pengorbanan.

Sejarah pun mencatat, manakala kaum Anshor menyambut kafilah muhajirin di Madinah. Mereka berduyun-duyun menyambut saudara seimannya dengan penuh suka cita. Diberikannya segala apa yang dibutuhkan mereka. Dipersembahkannya segala yang terbaik agar kemuliaan Muhajirin tetap terjaga, sebagai kaum yang telah mengorbankan kehidupan duniawi demi menegakkan panji-panji keagungan Rasulullah.

Inilah yang digambarkan Allah dalam Al Quran surat Al Baqarah:218: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Hal di atas pun menjadi pembelajaran berharga kepada umat, bahwa hubungan kemanusiaan janganlah terputus dikarenakan perbedaan suku bangsa, warna kulit, kedudukan dan atribut keduniawian. Kaum Muhajirin dan Anshor meyakini penegasan Allah yang menyatakan kemuliaan manusia terletak pada ketakwaan kepada-Nya. Sehingga tampaklah satu tatanan kehidupan yang penuh dengan persaudaraan dalam bingkai persatuan dan kesatuan insan Tuhan.

Semua itu merupakan implementasi dari firman Allah dalam Al Quran surat Al Hujarat:13: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.

Refleksi Hijrah

Menjadi satu renungan tersendiri saat membayangkan kisah perjalanan hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah.sejauh 320 km. Sangat berbanding terbalik saat penulis dan peziarah lainnya dengan menggunakan kendaraan ber-AC menelusuri jalan yang terbentang mulus di jalur yang sama dengan kejadian 14 abad lalu.

Ditemani sahabat utama, Sayidina Abu Bakar, menempuh lautan pasir yang panasnya dapat mematangkan butiran telur, dan dinginnya malam yang dapat membekukan air. Bahkan, tidak jarang kaki mulia Nabi harus melewati tajam dan terjalnya cadas bukit-bukit di sepanjang perjalanan mulianya.

Seperti diketahui, terkadang Nabi dan sahabatnya harus beristirahat di alam terbuka, dan sesekali terpakasa bermalam di tengah samudera pasir dengan kondisi alam yang gelap gulita. Siang dan malam ditempuh dengan tekad dan keyakinan kuat, bahwa Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama mereka menolong agama-Nya.

Jika para tamu Allah saat ini dapat menjangkau jarak di atas sekira lima jam perjalanan, maka perjalanan suci Nabi memakan waktu 20 hari untuk sampai di temapat tujuan. Sungguh perjuangan yang teramat berat dalam menegakkan kalimat tauhid di muka bumi.

Hal ini memberikan pelajaran seperti yang sudah diungkapkan di awal tulisan bahwa tidak ada satu pun perjuangan tanpa diiringi dengan pengorbanan. Itulah keteladanan Nabi yang seharusnya dicontoh.

Hal di atas pun mengisyaratkan bahwa perjuangan bukanlah sesuatu yang ‘instan’, yang hanya mengandalkan ‘mukjizat’ dan keajaiban Tuhan. Proses adalah sesuatu yang harus ditempuh oleh siapapun dalam meraih tujuan. Samudera pasir, tajamnya batu di perjalanan, tidak akan pernah menyurutkan tekad dan semangat perjuangan.

Penulis diingatkan akan kisah para tokoh penghias sejarah yang menjadikan hijrah sebagai suatu strategi perjuangannya. Begitulah yang dilakukan Nelson Mandela, Benazir Bhuto, Imam Khomeini, Fidel castro, hingga Bung Karno. Tokoh-tokoh dunia tersebut menjadikan ‘hijrah’ sebagai upaya merubah nasib bangsanya menjadi jauh lebih baik.

Diingatkan pula tentang strategi hijrahnya pasukan Siliwangi saat perang kemerdekaan. Maka, jika hijrah dimaknai sebagai strategi perjuangan, tentu spiritnya adalah semangat untuk memperbaiki diri dan bangsa yang dipimpinnya. Itulah yang dilakukan Nabi dalam merubah dunia menjadi jauh lebih baik dan beradab.

Menarik juga untuk dikaji manakala Nabi tiba di Yatsrib yang kelak menjadi Madinah. Kegiatan pertama Baginda tidak mencari rumah untuk tempat tinggal diri dan keluarga. Tidak pula meminta fasilitas kelayakan hidup sebagai seorang pemimpin umat. Tetapi yang beliau lakukan adalah mendirikan masjid. Diyakininya bahwa masjid adalah pusat kegiatan yang dapat menjadi sentra perubahan dan perbaikan umat. Dari masjid itulah Islam memancarkan charisma kewibawaan sebagai agama ramatan lil ‘alamin.

Hal tersebut hendaknya menjadi renungan. Sebesar apapun keinginan untuk meraih dunia tidaklah harus mengalahkan kebutuhan akhirat, dan masjid adalah salah satunya. Segala riak perjuangan Islam bermula dari tempat ini. Dimulai dari merubah Yatsrib menjadi Madinah, hingga ditulisnya mitsaq al-madinah (Piagam Madinah), suatu konstitusi modern pertama di dunia yang menjadikan rujukan pola kerukunan umat.

Piagam tersebut menjadi titik temu komunitas Madinah yang majemuk menjadi prototype negeri yang rukun, damai, toleran dan beradab. Satu revolusi dakwah yang dilakukan Nabi yang menekan pada perbaikan umat dalam urusan ibadah dan muamalah, spiritual dan sosial.

Nabi tidak membangun negara berdasarkan fanatisme kelompok atau suku. Rasulullah menginisasi terciptanya kesepakatan bersama kepada seluruh penduduk Yatsrib dalam menjamin kebasan beragama, keamanan, penegakan hukum, dan hak-hak individu.

Sesungguhnya hal tersebut patut diteladani hingga sekarang. Dan Inilah makna hijrah yang sebenarnya. Tidak hanya bermakna secara harfiah, migrasi atau pindah tempat, melainkan juga pindah orentasi, berubah pola pikir, yakni berpindah dari keadaan buruk menjadi baik, dari kondisi baik menjadi jauh lebih baik.

Itulah perubahan. Dan baginda Rasul memberikan contoh keteladanan bahwa semua perubahan tersebut tak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk umat secara kolektif.

Selanjutnya adalah saat Muharam dipilih sebagai awal tahun kalender Islam. Bulan ini ditetapkan setelah melalui musyawarah para sahabat sepeninggal Rasulullah dan khalifah Abu Bakar.

Disebutkan dalam Manaqib al Anshar, bahwa para sahabat tidak menghitung dan menjadikan awal penanggalan dari masa diutusnya Nabi Muhammad saw, dan tidak pula dari waktu wafatnya beliau. Suatu usulan yang rasional, mengingat bahwa Rasulullah adalah manusia luar biasa yang melakukan revolusi ke arah peradaban yang lebih baik.

Akhirnya setelah berbagai usulan, Khalifah Umar berdasarkan persetujuan para sahabat, menghitungnya mulai dari masa sampainya Nabi di Madinah, hijrah. Kalifah berkata: Hijrah itu memisahkan antara yang hak (kebenaran) dan yang batil. Oleh karena itu jadikanlah hijrah itu untuk menandai kalender awal tahun Hijriah.

Hijrah Masa Kini

Dalam konteks sebagai pendidik, hijrah menjadi bahan refleksi diri. Menciptakan generasi unggulan tidak seperti mudahnya membalikan tangan. Butuh perjuangan ekstra yang menguras pikiran dan tenaga. Diperlukan pula semangat perbaikan diri setiap saat.

Perjuangan memang tidak selalu bertabur bunga dan berhamparkan karpet merah. Perjuangan bahkan selalu menemui tajamnya onak dan duri. Keikhlasan dan kesabaran adalah pengorbanannya.

Di masa pandemi seperti sekarang ini, saat semua elemen bangsa sibuk mengatasinya, dibutuhkan sikap bijak dalam menghadapinya. Demikian juga dengan seorang pendidik yang harus bisa memberikan kenyamanan dalam proses pembelajaran dengan siswanya. Oleh karena itu, segala upaya dan kebijakan pemerintah wajib didukung agar kondisi kurang menguntungkan ini dapat segera berakhir.

Semangat hijrah haruslah dijadikan sandaran semua pihak. Sebagai garda terdepan dalam upaya mewujudkan cita-cita luhur negeri ini, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, guru dan warga sekolah lainnya, harus berani mengorbankan kepentingan diri untuk kepentingan anak didiknya.

Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah dengan selalu siap berhijrah dari pola pendidikan berpusat dari guru ke pola pendidikan yang berpusat pada siswa. Kemudian, meng-upgrade kompetensi diri untuk meningkatnya kualitas pelayanan pendidikan bagi siswa. Selanjutnya, selalu mengingatkan kepada mereka untuk berdoa kepada Tuhan agar kondisi pandemi ini segera berakhir.

Simpulan

Sesungguhnya, peristiwa hijrah mengandung nilai-nilai yang sangat relevan sepanjang zaman. Momen ini mengandung tekad yang bulat, semangat untuk berjuang, dan kegigihan kuat dalam beramal menuju tujuan yang jelas, yakni, terwujudnya baldatun toyyibatun warrabun ghafur. Negeri adil makmur yang senantiasa penuh rahmat dan ampunan Allah Swt.

Akhirnya, spirit hijrah yang dicontohkan Rasulullah harus dimaknai dalam kerangka perjuangannya merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan universal yang berlandaskan asas ketuhanan. Selain itu sikap yang dibangun adalah semangat kemandirian, nilai-nilai kemanusiaan, integritas dan keyakinan akan nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang akan membawa kemuliaan hidup.

Hal di atas pun mengandung semangat ikhtiar, pengorbanan, kebulatan tekad, keteguhan niat, kesabaran, dan keikhlasan.

Baginda menyatakan: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.

Semoga tahun baru Islam ini membawa keberkahan bagi semuanya, Aamiin.***

Dari berbagai sumber.

sumber : https://retizen.id/posts/227817/refleksi-hijrah
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler