Gandhi, My Father: India adalah Hindu Hingga Akar Kesumat Hindu-Islam
Semboyan India adalah Hindu makin terbukti sekarang ketika Muslim terus bermasalah.
Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Pada tahun 2007 silam ada produksi film India yang bikin heboh. Genrenya berbeda sama sekali dengan film Bollywood yang dikenal penuh drama, tarian, heroisme, hingga musik membahana.
Film ity berjudul 'Gandhi, My Father. Film merupakan sebuah biografi tokoh yang menjadi bapak bangsa India. Rujukan film ini berdasarkan buku karya Chandulal Dalal dan Neelamben Parikh, dirilis pada tahun 2007. Film yang ditulis dan disutradarai oleh Feroz Abbas Khan. pemainnya antara lain adalah Darshan Jariwala, Akshaye Khanna, Bhumika Chawla, dan Shefali Shah.
Dan memang sejak menit pertama film sudah penuh adegan kejutan. Film ini digambarkan adanya anak lelakinya Gandhi, Hariral, yang bengal alias tak penurut. Yang paling tragis adalah adanya adegan datangnya anak tersebut menemui Gandi dan isterinya dalam keadaan mabuk. Tak hanya itu banyak adegan lain yang tak sesuai dengan gambaran ideal yang terlanjur kita kenal dari seorang Gandi yang pada akhir hayatnya menemui ajal ditembak oleh seorang Hindu radikal yang percaya pada semboyan: India adalah Hindu.
Memang film Gandhi seperti ini jarang diperlihatkan. Di India ini film ini memicu kontroversi, meski mendapat ganjaran sebagai 'film terbaik'. Banyak yang tak setuju karena mengurangi kebesaran Gandhi. Dan memang, kisah ini film ini berbeda dengan film Gandi lainnya, seperti karya klasik Richard Attenborough, hingga The Making of the Mahatma karya Shyam Benegal atau Lage Raho Munnabhai. Pada film tersebut sosok Gandhi ditampilkan luar biasa, layaknya manusia suci atau bahkan kadang diangap nabi baru.
Film 'Gandhi, My Father' membahas kegagalan atau ironi kehidupan dari pribadi sang bapak bangsa India tersebut. Hubungannya dengan anak lelakinya ternyata tak harmonis. Bahkan terlihat ada perbedaan pendapat akut. Ini terjadi saat Gandhi melarang putranya, Hariral Gandhi, menjadi pengacara seperti dirinya. Hinga pelarangan putranya menikahi putri bapak bangsa Pakistan: Ali Jinah.
Tak hanya beda pendapat, Harilal Gandhi terbukti menjadi orang yang tidak pernah takut untuk menyuarakan pendapatnya langsung di depan ayahnya. Terkesan dia tak anggap Gandhi sebagai seorang suci: Mahatma. Beda dengan orang India yang begitu memujanya, si anak mengangap bapaknya biasa saja.
Tak hanya itu, Hiralal bahkan pernah memeluk Islam sebagai pemberontakan terhadap ayahnya tetapi kemudian kembali ke Hindu. Akibat ulahnya ini Gandi menganggap anaknya sebagai kegagalan terebesar dirinya. Ini kemudian terbukti Hiralal memilih tinggal tak bersama Gandhi. Bahkan lebih nekad, memilih hidup terlunta layaknya gelandangan.
"Film ini berfokus pada sudut pandang Harilal, apa yang dia pikirkan tentang memiliki ayah seperti Mahatma. Dia adalah seorang pria yang dibayangi oleh persona 'Gandhiji', yang pasti mencintai anggota keluarganya, tapi dia lebih mencintai negaranya. Melalui tragedi pribadi Mahatma dan pengorbanan itulah bangsa India bisa memenangkan kebebasannya, "kata Feroz.
Lihat pada halaman berikutnya...
Kisah Gandhi yang tragis di film itu seperti itu kemudian terkonfirmasi dari dua kali perjalanan ke Pakistan. Kisah itu diceritakan kembali pemandu saya selama perjalanan dua hari bermobil dari Lahore ke Islamabad dengan singgah di banyak tempat. Kesan begitu sengitnya perseteruan antara umat Hindu di India dan Islam pada tahun 1940-an, misalnya tampak jelas pada pertunjukan upacara pergantian pasukan yang menjaga perbatasan India dengan Pakistan di sebuah wilayah dekat Lahore.
Pada acara show itu saya sempat kaget dan geleng-geleng kepala. Kedua pihak jelas memerlihatkan sikap waspada dan sikap siap saling berkonfrontasi setiap saat. Celakanya, di sana ada bumbu agama. Di akhir show pihak Pakistan melantunkan ayat-ayat suci Alquran, sementara dari pihak tentara India yang berada di sebarang 'border' memperdengarkan' bacaan kitab suci Hindu keras-keras.
Sayangnya lagi dalam dua pembacaan ayat suci agama itu kedua diperdengarkan melaui persaingan keras-kerasan speaker. Suaranya sangat pekak sekali. Sahut menyahut. Keriuhan ini main bertambah karena di sela suara tersebut terdengar teriakan pekik semangat dari dua belah kubu. Kesan mau berantem antara umat Hindu dan Islam sangat kuat terasa.Saya yang kala itu duduk dan berada di kubu Pakistan merasakan serunya persaingan. Bahkan rasa kebencan kepada mereka saudara satu ras yang memeuk hindu di India terasa kuat. Dinding di monumen perbatasan pun penuh dengan relief berupa gambaran ketika mereka terusir dari India yang kemudian mendirikan negara baru yang memakai dasar negara Islam: Pakistan.
''Saya bayangkan bila dahulu Gandi mengijinkan putranya masuk Islam dan menikahi anak Ali Jinnah, keadaan perseteruan tak seberat ini. Semboyan India adalah Hindu itu yang membuat Muslim di India saat itu gerah sehingga membuatnya memutuskan membentuk negara pecahan baru yang bernama Pakistan,'' kata pemandu saya. Bahkan saking geramnya pada India yang harus serba Hindu, bahasa urdu oleh Pakistan diganti ejaannya memakai huruf atau aksara Arab seperi yang kita kenal sekarang.
Alhasil, gambaran sengitnya persaingan itulah yang kembali muncul kini tahu ada perusakan masjid di India oleh sekelompok umat Hindu India. Sama dengan yang lainnya, Gandi dan umat Hindu India ternyata manusia biasa. Selain itu, bukankah berantem dan fanatik terhadap sebuah agama itu ternyata di derita semua anak manusia?
Lucunya, sekarang kesan yang ada tuduhan fundamentalis agama terkesan hanya kepada umat Islam? Padahal sebenarnya, selain Islam, Gandhi juga telah menjadi korbannya bukan? Ingat ya, perdana menteri India terpilih hari, Narendra Modi (Narendra Damodardas Modi), ini juga punya catatan hidup tak nyaman. Ingat Modi sebelum jadi perdana menteri dahulu pernah ditolak masuk ke Amerika Serikat karena dianggap punya aliran pikiran yang hampir sebangun dengan orang yang menembak Gandhi.
Jadi adakah orang suci di dunia yang kian renta dan buta oleh permainan kekuasaan ini? Ingat di kekerasan kepada Muslimdi India itu paradoks dengan petuah Gandhi yang dulu kerap dikutip Soekarno: My Nationalism is humanity.
Atau jangan-jangan semua manusia itu paradoks. Bahkan tak peduli Gandhi yang seorang Mahatma sekalipun?