Pembakaran Alquran Bisa Perluas Sikap Anti-Imigran di Eropa

Serangan ke Alquran dikhawatirkan akan mengarah serangan ke masyarakat muslim.

EPA/ SHAHZAIB AKBER
Demonstran mengangkat tangan dan mengangkat Alquran saat mereka menghadiri protes menentang pembakarannya di Swedia.
Rep: Lintar Satria Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Mantan Pelapor Khusus atau special rapporteur Richard Falk mengatakan gelombang pembakaran Alquran di Swedia dan Denmark menegaskan "bias sayap kanan anti-imigran, anti-non-Eropa yang tumbuh menjadi cukup kuat secara politis"

"Tidak ada tujuan yang sah membiarkan kelompok membakar kitab suci agama lain," kata profesor emeritus hukum internasional Princeton University itu seperti dikutip dari Middle East Monitor, Selasa (8/8/2023).

"Bagi saya terlihat untuk melayani tujuan konstruktif yang tidak mungkin, dan saya pikir terdapat kasus kuat (kenapa aksi tersebut) dilarang," katanya.

Beberapa bulan terakhir kelompok sayap kanan Eropa membakar dan menistakan sejumlah salinan Alquran di Denmark dan Swedia. Aksi ini memicu reaksi keras dari dunia muslim yang meminta aksi-aksi tersebut dihentikan.

Pada akhir Juli lalu Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson mengatakan ia "berdialog" dengan Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen untuk menekankan kedua negara mengakui "situasinya berbahaya dan diperlukan langkah-langkah untuk memperkuat daya tahan."

Sementara Kristersson sudah membuang kemungkinan untuk merombak undang-undang kebebasan berekspresi di Swedia. Pemerintah Denmark mengatakan sedang "mengeksplorasi kemungkinan untuk mengintervensi situasi-situasi khusus" tapi hanya dengan "kerangka kerja yang melindungi kebebasan ekspresi sesuai dengan konstitusi."

Sementara itu pada 25 Juli lalu Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang menganggap setiap kekerasan terhadap kitab suci melanggar undang-undang internasional.

Ditanya tentang kemungkinan alasan serangkaian serangan ke Alquran. Falk mengatakan hal ini dapat berhubungan dengan masuknya Swedia ke Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) setelah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sepakat untuk meratifikasinya di parlemen.

"Orang bisa berspekulasi entah bagaimana ini terhubung dengan kekhawatiran janji-janji Uni Eropa pada Turki untuk ditukar agar Swedia dapat bergabung dengan NATO," kata Falk.

"Dan mungkin ada kecemasan di luar ini artinya akan semakin banyak muslim di Eropa. Ini mungkin cara untuk mengatakan Uni Eropa mengarah ke sana, akan ada masalah sosial dan politik. Jika penegasan bias anti-imigran, anti-non-Eropa tumbuh secara politik cukup kuat, termasuk di Swedia dan Denmark," tambah Falk.

Falk menjelaskan meski perilaku semacam itu dapat berada di bawah payung "kebeberasan berbicara" tapi di sejumlah kasus juga dapat terkait dengan "formasi perilaku kekerasan." Ia mencontohkan Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang memiliki "kebebasan berbicara versi ekstrem."

"(Di AS) tidak hanya perlu membuktikan pembakaran Alquran terjadi, tapi juga menunjukkan peristiwa itu berkaitan dengan kejahatan lain, seperti Alquran yang dibakar milik orang lain, dan karena itu pencurian, atau itu dibakar di ruang publik yang dapat membahayakan properti dan ketertiban umum," katanya.

Ia mengatakan berbagai negara Eropa "memiliki pandangan yang lebih permisif dalam kebebasan berbicara dan lebih peduli melarang kejahatan rasial."

"Karena itu aksi semacam ini dapat dilarang dengan larangan ujaran kebencian, yang mana sudah ada, saya tahu di Inggris dan Jerman, contohnya," kata Falk.

Ia menambahkan di beberapa negara Skandinavia mungkin belum ada undang-undang itu. Falk mengatakan negara-negara tersebut dapat meloloskan undang-undang yang dapat mencegah serangan ke kitab suci, menekankan mereka "akan mendapatkan dukungan internasional yang cukup besar saat ini."

"Karena resolusi terbaru PBB mengatakan membakar atau merusak kitab suci melanggar dengan hukum internasional," katanya.

Namun ia mengatakan 12 negara menolak resolusi Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang mengecam aksi kebencian terhadap agama termasuk serangan ke Alquran. Negara-negara itu termasuk negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Jerman.  

Muslim di seluruh dunia khawatir meningkatnya serangan ke Alquran akan mengarah serangan ke masyarakat muslim. Falk memperingatkan membakar buku merupakan operasi utama Nazi yang mengarah pada Holocaust.

"Masyarakat demokratis harus waspada pada setiap pengulangan perilaku genosida, karena jelas itu bisa terulang kembali, katanya.

"Sampai batas tertentu sudah terulang lagi di Myanmar, di mana minoritas muslim, menjadi subjek apa yang para pengamat definisikan sebagai genosida," kata Falk merujuk pembantaian masyarakat Rohingya.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler