Tinggalkan Prancis, Sejumlah Negara Afrika Beralih Dukung Rusia

Peran Prancis di negara bekas jajahannya di Afrika semakin melemah.

Anadolu Agency
Benua Afrika.
Rep: Amri Amrullah Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Seorang kolumnis dan penulis Mesir, Dr Amira Abo el-Fetouh, mengungkapkan semakin melemahnya peran Barat (Amerika dan Eropa), khususnya Prancis, di negara bekas jajahannya di Afrika saat ini. Ketaatan negara Afrika, sebagian besar Afrika Utara, Barat, dan Tengah telah beralih ke dominasi kekuatan baru dunia, yakni Rusia dan Cina.

Baca Juga


"Dalam artikel saya sebelumnya, saya telah menyebutkan tentang kudeta militer di kawasan Arab, yang merupakan wabah. Kudeta-kudeta itu tidak dilakukan demi Tuhan dan tanah air, melainkan demi Amerika dan kepentingan serta pengaruhnya di wilayah tersebut," kata Amira Abo el-Fetouh, dalam tulisannya di Middle East Monitor, Senin (7/8/2023).

Ia menilai negara Afrika telah lelah dengan Amerika yang datang dengan ide kudeta dan mendorong penjajah lain untuk mengikutinya. "Kita sekarang melihat Rusia menciptakan kudeta di Niger dari balik layar dan menggulingkan Presiden terpilih Mohamed Bazoum, yang setia kepada Prancis," terangnya. 

Rusia menggunakan perwira militer senior Niger yang setia kepada Moskow untuk memimpin kudeta dan membentuk dewan militer yang dikepalai oleh Abdulrahman Tiani. Dan Tianilah yang mengumumkan pengusiran 1.500 tentara Prancis dari Niger dan pembatalan semua perjanjian kerja sama militer yang telah ditandatangani dengan Prancis.

Dia juga mengumumkan bahwa Prancis tidak dapat lagi menambang uranium dan emas di Niger. Ini merupakan pukulan serius bagi Prancis, yang bergantung pada reaktor nuklir yang dipasok oleh uranium Niger untuk 65 persen listriknya, sementara Niger sendiri tidak mendapatkan pasokan listrik.

Sejak penggulingan Bazoum, jalanan telah dipenuhi oleh para pengunjuk rasa yang membawa bendera Rusia dan mengecam Prancis karena menjarah kekayaan negara mereka. Kudeta di Niger merupakan tamparan keras bagi Prancis, menyusul kudeta di Mali dan Burkina Faso. 

Macron, menurut Amira, telah mengandalkan Niger dan Chad, mitra strategis utama Prancis yang terakhir di wilayah tersebut, untuk merumuskan kembali strateginya di wilayah Sahel Afrika. Kedua negara ini adalah benteng terakhir Prancis di Afrika. 

Faktanya, benua ini merupakan pangkalan intelijen militer untuk lebih dari satu negara di kubu Barat, dengan setidaknya lima pangkalan militer AS, Prancis, dan Jerman. Afrika juga kaya akan sumber daya alam, terutama uranium, yang menyumbang tujuh persen dari produksi global.

Prancis menduduki Niger dan negara-negara lain di sepanjang pantai Afrika Barat pada akhir abad kesembilan belas; semuanya memiliki sumber daya alam yang melimpah. "Prancis menjarah kekayaan ini, dan mendominasi serta mempermalukan rakyatnya, dan memandang mereka seperti budak, mengirim mereka ke Eropa untuk bekerja di pertanian dan pabrik," ujar Amira.

Pemerintah Prancis, lanjut dia, bahkan mengirim mereka untuk berperang dan membunuh atas namanya dalam perang kolonial. Selain itu, Prancis mendistorsi identitas budaya dan peradaban Islam yang dulunya ada di negeri-negeri ini, melarang penggunaan bahasa Arab di semua fasilitas administrasi, ekonomi, dan sosial negara. 

Pada saat yang sama, mereka memberlakukan sistem pendidikan Prancis; menghapus pengajaran Alquran dan membatasi pembukaan sekolah-sekolah Arab; dan mencegah para pelajar untuk mempraktikkan pengucapan bahasa Arab yang benar. 

Prancis pada dasarnya menghapus identitas orang Afrika dengan tangan besi dan memaksa negara-negara Afrika Barat untuk menyimpan setengah dari cadangan mata uang asing mereka di bank-bank Prancis.

Prancis dulu memperbudak dan merendahkan orang Afrika. Perlu diingat apa yang dikatakan oleh mantan presiden Prancis Nicolas Sarkozy beberapa tahun yang lalu. "Tragedi Afrika adalah bahwa orang Afrika belum sepenuhnya masuk ke dalam sejarah .... Mereka tidak pernah benar-benar meluncurkan diri mereka sendiri ke masa depan," kata Sarkozy yang dikutip Amira.

Rasisme yang keji seperti itu memperlihatkan wajah asli kolonialisme Prancis dan propaganda palsu yang digunakan untuk membenarkan pendudukannya atas dua puluh negara di Afrika. Mereka mengklaim bahwa mereka menyebarkan peradaban sebagai bagian dari apa yang disebut "Beban Orang Kulit Putih". 

Jalan Prancis menuju kemajuan dan kemakmuran ini menggambarkan Paris sebagai ibu kota cahaya dan kebebasan, sementara yang terjadi justru sebaliknya; Prancis membunuh jutaan orang Afrika dan mendirikan museum tengkorak serta kebun binatang yang memajang orang-orang Afrika telanjang di kota-kotanya untuk dilihat oleh warga Prancis yang "bebas".

Setelah kemerdekaan negara-negara Afrika pada tahun 1960-an, Prancis membentuk sebuah entitas untuk "menyatukan" negara-negara Francophone untuk melanjutkan hubungan ekonomi, keamanan, dan politiknya dengan mereka. Di mana yang semuanya selain Mali dan Burkina Faso menentang kudeta militer di Niger dan mendukung kembalinya Bazoum ke tampuk kekuasaan. 

Masyarakat Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) mengancam akan menggunakan kekuatan, jika perlu, untuk memulihkan ketertiban konstitusional di negara tersebut pada akhir KTT darurat di Niger.

Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin sangat ingin agar KTT Rusia-Afrika di Saint Petersburg - yang bertepatan dengan kudeta di Niger - dapat merumuskan kembali sifat hubungan Rusia dengan Afrika. Yakni hubungan yang meningkatkan kehadiran ekonomi dan politiknya di benua itu. 

Putin telah menjanjikan enam negara Afrika pengiriman biji-bijian gratis dalam beberapa bulan mendatang. Ia juga mengisyaratkan impian Uni Afrika.

Sebagai gantinya, negara-negara Afrika berusaha mencari peluang kerja sama dengan Rusia di berbagai bidang dan mendapatkan dukungan Rusia dalam pembangunan, infrastruktur, dan isu-isu keamanan. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting, dapatkah Rusia memenuhi kewajibannya terhadap benua ini.

Karena pada saat yang sama, ekonomi Rusia sendiri menderita akibat sanksi Barat dan dengan tidak adanya solusi politik yang terlihat untuk perang melawan Ukraina?

Afrika Barat telah berubah menjadi sarang konfrontasi dan persaingan antara kubu lama dan kubu baru. Selama tiga tahun terakhir saja, wilayah ini telah menyaksikan serangkaian kudeta: Mali (2020 dan 2021); Burkina Faso (2022); Guinea (2021); Chad (2021); dan Sudan (2021). Ada juga konflik bersenjata yang masih menunggu untuk diselesaikan.

Prancis mewakili kubu kolonial Barat lama dan mempertahankan pengaruhnya di Afrika dengan gigih, dengan cara Prancis terus mendominasi negara-negara Francophone. Rusia mewakili kolonialisme modern, dan berusaha menyusup ke benua ini untuk memperluas pengaruhnya. 

Negara-negara Afrika terpecah menjadi dua kelompok, yakni mereka yang merindukan perbudakan penjajah lama, Prancis, pelindung negara dan rakyat. Dan mereka yang menyambut Rusia, pendukung rakyat. 

Sementara itu, demokrasi telah jatuh ke dalam warisan perbudakan antara orang yang tidak tahu dan orang yang lapar, membuat mereka beralih dari kepatuhan kepada Prancis, menjadi kepatuhan kepada Rusia.

Negara ECOWAS ternyata juga khawatir....

Kudeta Niger

Junta militer di Niger telah menentang tenggat waktu hari Ahad (6/8/2023) lalu, tawaran dari blok regional Afrika Barat (ECOWAS) untuk mengembalikan presiden yang digulingkan, Mohamed Bazoum, atau menghadapi kemungkinan intervensi militer.

Para kepala pertahanan Masyarakat Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) pekan lalu menyusun rencana penggunaan kekuatan untuk membalikkan kudeta 26 Juli di Niger. Diantaranya, termasuk bagaimana dan kapan harus mengerahkan pasukan militer ke negara ini.

Namun negara ECOWAS ternyata juga khawatir, dengan pengerahan ini dapat meningkatkan momok konflik lebih lanjut, di wilayah yang telah berjuang dengan pemberontakan kelompok ektrem yang mematikan. Hal ini yang membuat ECOWAS tidak membocorkan rinciannya, dan tetap akan membutuhkan persetujuan dari para kepala negara anggota sebelum melakukan intervensi militer.

ECOWAS telah mengirim pasukan ke tempat-tempat yang bermasalah dan berkonflik sebelumnya, tetapi tidak pernah di Niger dan jarang di wilayah yang terpecah belah.

Para analis keamanan mengatakan bahwa rincian operasi besar dapat memakan waktu berminggu-minggu untuk disatukan, dan bahwa invasi membawa risiko besar, termasuk terjebak dalam konflik yang berlarut-larut dan mendestabilisasi Niger dan wilayah itu lebih jauh.

Pemimpin kudeta Jenderal Abdourahamane Tiani sebelumnya pernah menjabat sebagai komandan batalion untuk pasukan penjaga perdamaian ECOWAS di Pantai Gading, setelah gencatan senjata antara pemerintah dan pasukan pemberontak pada tahun 2003. Situasi inilah yang membuat ia tahu apa saja yang termasuk dalam misi intervensi tersebut.

Namun, beberapa orang akan merasa bahwa mereka tidak memiliki banyak pilihan. "Jika mereka tidak masuk, ini akan menjadi masalah kredibilitas yang besar. Mereka telah menetapkan garis merah," kata Djiby Sow, seorang peneliti senior di Institut Studi Keamanan di Dakar.

Presiden Nigeria Bola Tinubu telah mengatakan kepada pemerintahnya untuk mempersiapkan berbagai opsi termasuk pengerahan personil militer. Senegal juga mengatakan bahwa mereka dapat mengirim pasukan.

Namun, para pemimpin kudeta di Guinea, Burkina Faso, dan Mali telah menyatakan dukungannya terhadap junta Niger, dan negara-negara lain juga memiliki tantangan keamanannya sendiri.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler