Hakim MK Pun Curigai Setting Politik di Balik Gugatan Batas Minimal Usia Cawapres
Pengamat menilai, Gibran akan maju ikut pilpres jika gugatan dikabulkan MK.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Fauziah Mursid
Seperti halnya masyarakat, hakim konstitusi ternyata juga bertanya-tanya apa 'setting' politik yang membuat Presiden dan DPR kompak menginginkan batas usia minimum calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) diturunkan. Pertanyaan itu mencuat dalam sidang lanjutan atas gugatan batas usia tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (1/8/2023) lalu.
Adalah Hakim Konstitusi Saldi Isra yang melontarkan pertanyaan kritis tersebut usai mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. Saldi dalam tanggapannya menilai Presiden dan DPR secara implisit sama-sama mau batas usia capres-cawapres diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Saldi lantas mempertanyakan, mengapa perubahan batas usia ini didorong ke angka 35 tahun, bukan 30 ataupun 25 tahun. Alasan perubahan menjadi 35 tahun itu diperlukan mengingat tidak ada standar baku terkait batas usia calon pemimpin di dunia karena setiap negara punya pertimbangan masing-masing.
Ada negara yang mensyaratkan usia minimal 50 tahun, ada pula yang memasang syarat minimal berusia 18 tahun saja bagi seseorang untuk bisa menjadi kepala pemerintahan. Adapun Presiden dan DPR dalam persidangan tidak menjelaskan alasan atau kebutuhan seperti apa yang mengharuskan pengubahan batas usia minimum capres-cawapres.
"Tadi di keterangan, baik pemerintah maupun DPR, itu kan ada setting politik yang berbeda, kebutuhan yang berbeda. Tapi, itu sama sekali tidak dieksplisitkan, setting politik dan kebutuhan politik apa yang menyebabkan kita harus mengubah batas usia minimum itu?" kata Saldi.
Dia juga mempertanyakan kepada Presiden dan DPR apakah pengubahan batas usia minimum ini bakal diterapkan langsung dalam Pemilu 2024, atau pada Pemilu 2029. Sebab, gugatan batas usia ini bergulir hanya sekitar 2,5 bulan jelang dibukanya pendaftaran pasangan capres-cawapres Pilpres 2024 di KPU.
Lebih lanjut, Saldi mempertanyakan sikap Presiden dan DPR yang kompak mau batas usia diturunkan, walau keinginan itu tidak diungkapkan secara eksplisit dalam persidangan. Saldi pun heran mengapa Presiden dan DPR tidak mengubah ketentuan batas usia itu lewat revisi UU Pemilu di parlemen.
"Dua-duanya kan mau ini diperbaiki. Kalau Pemerintah dan DPR sudah setuju, mengapa tidak diubah saja undang- undangnya? Jadi, tidak perlu melempar isu ini, soal ini di Mahkamah Konstitusi untuk diselesaikan," kata Saldi.
"DPR tadi implisit itu sudah setuju dan tidak ada perbedaan (pendapat) di fraksi- fraksinya. Kelihatannya, Pemerintah juga setuju. Kan sederhana ini untuk mengubahnya, dibawa ke DPR saja, diubah undang-undang itu, pasal itu sendiri. Jadi, tidak perlu dengan tangan Mahkamah Konstitusi," kata pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas itu menambahkan.
Dalam sidang tersebut, DPR diwakili oleh anggota Komisi III dari fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman. Sedangkan pandangan Presiden diwakili oleh Menkumham Yasonna H. Laoly dan Mendagri Tito Karnavian yang bertindak atas nama Presiden RI Jokowi.
Sidang tersebut merupakan sidang lanjutan atas tiga perkara sekaligus yang sama-sama menggugat ketentuan batas usia minimum capres dan cawapres 40 tahun, yang diatur dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Di MK saat ini sedang berproses tiga perkara yang sama-sama menggugat batas usia minimum capres dan cawapres yang diatur dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 diajukan oleh kader PSI, Dedek Prayudi. PSI meminta batas usia minimum capres-cawapres diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Sekretaris Jenderal dan Ketua Umum Partai Garuda, yakni Yohanna Murtika dan Ahmad Ridha Sabhana. Nama yang tersebut terakhir merupakan adik kandung Ketua DPD DKI Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria. Partai Garuda meminta MK menetapkan batas usia capres dan cawapres tetap 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
Perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 diajukan oleh dua kader Gerindra, yakni Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa. Petitum mereka sama dengan petitum Partai Garuda.
Dalam persidangan di MK pada Selasa (1/8/2023), DPR dan Pemerintah kompak menunjukkan sinyal setuju batas minimum usia calon presiden dan wakil presiden diturunkan menjadi 35 tahun atau berpengalaman sebagai penyelenggara negara.
Sementara gugatan tersebut bergulir, di sejumlah daerah mulai bermunculan baliho yang mempromosikan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto. Gibran kini berusia 36 tahun.
Baliho itu juga terpasang di Kota Solo. Ketika dikonfirmasi, Gibran mengaku tak tahu menahu dan tidak pernah menginstruksikan pemasangan spanduk tersebut. Putra sulung Presiden Jokowi itu juga mengaku tak menanti putusan soal batas usia capres dan cawapres itu.
"Aku yo ora nunggu putusane, saya nggak peduli putusannya diterima atau tidak, aku ra gagas kui (saya nggak menggubris itu)," kata Gibran di Solo, Selasa (1/8/2023).
Sinyal berbeda ditunjukkan oleh Prabowo usai bertandang ke markas PSI di Jakarta pada Rabu (2/8/2023) malam. Usai memberikan keterangan pers terkait pertemuan itu, Prabowo tampak enggan menjawab berbagai pertanyaan tambahan dari wartawan. Ketua Umum Partai Gerindra itu perlahan berjalan menuju mobilnya.
Namun, Prabowo tiba-tiba berhenti dan membalik badannya ke arah wartawan ketika diminta tanggapannya terkait gugatan batas usia cawapres. Prabowo berpendapat, kandidat capres dan cawapres jangan hanya dilihat dari umurnya. Sebaiknya melihat seseorang calon pemimpin itu berdasarkan kompetensinya.
"Kalau saya lihat ya, saya lihat, jangan kita terlalu melihat usia lah. Kita lihat tekat, idealisme, dan kemampuan seseorang," kata Menteri Pertahanan RI itu. Apalagi, lanjut dia, kini sudah ada banyak negara yang dipimpin oleh anak muda.
Pengamat dari lembaga Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menyampaikan implikasi jika MK mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) soal batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden berusia 40 tahun. Adi menilai, perubahan ketentuan batas usia tersebut akan berpengaruh pada politik nasional terutama pada level cawapres.
"Sangat mungkin Gibran akan maju di pilpres. Tentu ini akan menjadi sesuatu yang menarik karena apa pun judulnya Gibran anak presiden, viral, dan jadi magnet politik," ujar Adi dalam keterangannya, Senin (7/8/2023).
Adi menyebut, jika Gibran maju menjadi cawapres, kondisi ini akan mengubah konstelasi peta cawapres yang ada saat ini. Nama-nama cawapres yang selama ini digadang-gadang pun akan tergusur karena sosok Wali Kota Solo tersebut.
"Andai Gibran maju, koalisi partai akan berubah total," ujarnya.
Hal serupa disampaikan pengamat politik dari lembaga Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah. Menurutnya, Gibran selama ini kerap didorong menjadi cawapres tetapi usianya yang masih 35 tahun belum memenuhi ketentuan batas usia minimum capres-cawapres yakni 40 tahun.
Jika kondisi gugatan diterima MK, kata Dedi, putusan MK itu akan mengubah konstelasi peta politik saat ini. Menurutnya, bisa saja terjadi peleburan koalisi antara poros Koalisi Perubahan dengan PDIP maupun Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) atau dari partai yang sebelumnya berada di Koalisi Indonesia Bersatu.
"Koalisi akan bisa saja berubah total, di antaranya terbentuknya dua poros besar, bisa saja PDIP mengejutkan melebur dengan Koalisi Perubahan, dan KIB melebur ke KKIR." ujarnya.
"Tetapi jika PDIP melebur ke koalisi lain, besar kemungkinan Ganjar tidak terusung, karena untuk apa PDIP usung tokoh non-trah Megawati jika sama-sama tidak mendapat dukungan Jokowi," tambahnya.
Sementara, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Andriadi Achmad beerharap MK tidak mengubah ketentuan UU Pemilu soal batas usia capres-cawapres. Apalagi, pengajuan uji materi ini disebut untuk mengakomodasi peluang Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres.
"Menurut hemat saya Judicial review batas usia capres-cawapres tidak terlalu mendasar dan penting, apalagi hanya untuk mengokomodir seorang Gibran Rakabuming Raka," ujarnya.
Andriadi melanjutkan, jika uji materi ini sampai dikabulkan akan menimbulkan kontroversial di masyarakat. Apalagi akan dikaitkan dengan Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar dari Joko Widodo.
"Kalau dikabulkan MK terlalu berlebihan, jangan karena Om-nya (adik ipar Jokowi,) Ketua MK JR yang tidak substansial dikabulkan pasti akan menimbulkan kontroversial," ujarnya.