Logika dan Etika Rocky Gerung: Dari Bajingan, Tolol, Kesantunan, Hingga Salah Persepsi
Apakah melanggar etika dan kesopanan perlu dihukum
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Affan Ramli, Pengajar Pedagogi Kritis
Orasi Rocky Gerung di depan massa Serikat Buruh beberapa waktu lalu menuai polemik berkepanjangan. Rocky melekatkan prediket “bajingan tolol” pada lembaga presiden. Di bagian lain, Rocky mengucapkan pernyataan “presiden menjual IKN kepada Cina.” Kedua pilihan diksi inilah yang diperdebatkan nilai epistemiknya dan nilai etiknya.
Sedikitnya publik kita terbelah ke dalam tiga pandangan merespons polemik Rocky saat ini. Pandangan pertama, Rocky melakukan kesalahan yang dapat dipidanakan. Pandangan kedua, pernyataan Rocky melanggar etika, bukan pidana. Pandangan ketiga, Rocky tidak melakukan pelanggaran apa pun, tidak dapat dipidanakan dan tidak melanggar etika.
Mari periksa pandangan pertama, Rocky melakukan tindak pidana. Deliknya, dia menyebarkan kebohongan yang dapat menimbulkan keonaran. Pandangan ini perlu diurai dalam dua cara. Pertama, dari sudut pandang studi moral, sebuah pernyataan yang salah tidak sama dengan pernyataan bohong. Kedua, kesimpulan analisis politik yang salah dan bohong tidak sama dengan pernyataan bernilai kejahatan (pidana).
Dalam epistemologi, sebuah pernyataan disebut salah jika kandungan pernyataan itu tak sesuai kenyataan. Tapi apakah semua pernyataan yang salah dapat disebut pernyataan bohong? Tunggu dulu. Seseorang bisa disebut berbohong dalam dua kondisi. Pertama, dia membuat pernyataan yang tak sesuai kenyataan. Kedua, dia tahu fakta-fakta dari kenyataan itu yang sengaja disembunyikan. Pernyataan Rocky punya kemungkinan salah, tapi belum tentu bohong.
Andaikan saja, Rocky berbohong. Dia tahu fakta dan dia ucapkan pernyataan yang tak sesuai fakta. Masih tersisa satu pertanyaan lagi, apakah semua pernyataan bohong dapat disebut kejahatan sehingga bisa dipidanakan? Ternyata tidak. Hanya sebagian pernyataan bohong yang bisa disebut kejahatan. Ada syarat lainnya, kebohongan yang dapat menimbulkan kegaduhan dan kekisruhan skala luas.
Pernyataan “Presiden menjual IKN kepada Cina” masih perlu pembuktian salah-benarnya. Pernyataan itu merupakan kesimpulan analisis dari premis-premis sebelumnya yang dijadikan sandaran. Pemeriksaan terhadap kesimpulan harus dimulai dari pemeriksaan premis-premis yang dijadikan bukti-bukti di awal.
Menteri Luar Negeri membantu publik Indonesia memeriksa premis-premis Rocky Gerung. Dari keterangan yang diberikan Menlu Retno, publik dapat mengetahui beberapa isu kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok yang berhasil didiskusikan selama perjalanan Jokowi ke Negeri Tirai Bambu itu.
Termasuk penguatan perdagangan dan investasi, kerja sama dalam bidang kesehatan, juga kerja sama pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Presiden Jokowi mengapresiasi penyelesaian protokol impor beberapa produk antara kedua negara dan berharap, adanya pembaruan dan peningkatan kuota impor untuk sarang burung walet serta produk laut Indonesia.
Setelah memeriksa hasil kerja Jokowi di Cina, seseorang dapat membuktikan kesimpulan analisis Rocky terkait kerja sama Indonesia dan Cina bisa bernilai salah atau benar. Mungkin sebagian salah, sebagian benar. Sudah sifat alamiahnya kerja analisis secara epistemik dimungkinkan salah.
Dalam keyakinan para filsuf, dari zaman Socrates sampai Zizek, semua kalimat dalam percakapan dunia manusia, selama diungkapkan dalam bentuk berita dan analisis, pasti berkemungkinan salah. Di mana-mana di seluruh dunia yang waras, salah analisis tak pernah dihukumi sebagai kejahatan.
Lalu, apakah Indonesia ingin membuktikan ketidakwarasan warganya, pengelola negaranya, dan para hakimnya dengan memidanakan Rocky?
Kelihatan jelas, kelompok yang melaporkan Rocky ke pihak kepolisian mengalami kesulitan logika dalam dua hal. Pertama, sulit membuktikan Rocky berbohong.
Kedua, jika dapat dibuktikan dia bohong, sulit membuktikan ada hubungan sebab-akibat antara pernyataan Rocky dan kekisruhan skala luas yang mungkin terjadi pada masa depan. Bila nanti kekisruhan terjadi, sebabnya bisa banyak, belum tentu pernyataan Rocky menjadi sebab tunggal.
Pelanggaran Etika?
Sekarang kita beralih ke pandangan kelompok kedua, bahwa Rocky dinilai telah melanggar etika. Apa itu etika? Dari berbagai pemikiran filsafat moral dapat diringkas, bahwa etika adalah studi tentang prinsip-prinsip yang mengatur perilaku manusia dan bagaimana manusia seharusnya bertindak. Studi etika melibatkan pemikiran kritis tentang apa yang dianggap baik dan buruk dalam masyarakat.
Etika membahas prinsip-prinsip universal untuk mengevaluasi penalaran dan alasan di balik tindakan, juga dampak yang diharapkan dari tindakan. Etika mencakup pemikiran filosofis, teori moral, dan penilaian rasional terhadap tindakan manusia.
Karena itu, etika berbeda dari sopan santun yang bersifat lokal dan konvensional. Seseorang yang tidak santun tidak berarti melanggar etika. Perhatikan kesamaan pola ‘ka’ pada etika, logika, fisika, dan matematika. Semuanya menunjukkan studi atau ilmu.
Sebagi studi, etika berusaha membangun prinsip-prinsip universal dalam menganalisis sebuah tindakan. Pemberian nilai baik dan buruk pada tindakan tertentu harus melibatkan pembuktian-pembuktian dan ukuran-ukuran rasional. Berbeda dengan sopan santun yang menggunakan citarasa lokal, berbasis tradisi dan kesepakatan iktibari (opinian belaka).
Dalam percakapan keseharian, kata etika sering digunakan untuk tiga makna. Etika sebagai moral, etika sebagai kode etik, dan etika sebagai sopan santun sosial. Ketiga konsep ini berbeda secara esensi dan substansi. Lalu, penghukuman Rocky Gerung melanggar etika, dalam makna yang mana?
Dalam makna pertama, etika-moral, butuh pembuktian-pembuktian rasional dan pengukuran-pengukuran universal untuk menyimpulkan tindakan dan ucapan Rocky bernilai buruk. Ukuran-ukuran dan bukti-bukti universal itu harus didapat dalam jawaban tiga pertanyaan penting etika.
Apakah kritikan dan cacian Rocky terhadap Presiden Jokowi secara keilmuan dapat dibuktikan punya dampak buruk pada fisik dan psikis korban dan keluarga korban? Apakah kritikan dan cacian Rocky dapat dibuktikan menzalimi hak-hak korban dan keluarga korban? Dan apakah kritikan dan cacian Rocky dapat dibuktikan menyerang martabat korban dan keluarga korban?
Ukuran-ukuran dan bukti-bukti yang disodorkan haruslah faktual. Bukan opini dan persepsi. Begitulah cara kerja etika menjelaskan dan menghukumi sebuah tindakan. Bukan berbasis bawa perasaan dan dugaan-dugaan. Apalagi baper-baper yang diwariskan dari tradisi politik feudal.
Besar kemungkinan, tuduhan pelanggaran etika yang dituduhkan pada pernyataan Rocky ‘presiden bajingan tolol’ dalam makna kesantunan sosial. Pernyataan itu dipandang tak pantas karena tidak sopan diungkapkan di ruang publik.
Sopan santun, karena bersifat lokal, selalu berbeda ukuran antara satu tradisi dan tradisi sosial lainnya. Ucapan dan tindakan yang dianggap tak santun dalam tradisi masyarakat Jawa, bisa jadi dinilai santun dalam masyarakat di Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua, dan Sumatra.
Sebab itu, sopan santun sepatutnya tidak boleh menguasai diskursus publik di alam demokrasi. Demokrasi modern bekerja dalam kaidah-kaidah percakapan publik yang rasional. Sebaliknya, sopan santun barang dagangan utama dalam diskursus publik di era politik feodal yang dikuasai raja-raja dan hulubalang-hulubalang.
Sudah waktunya Indonesia sepenuh hati meninggalkan era politik feodal. Pergi sepenuh-penuhnya ke arah peradaban politik baru. Terserah, bergerak ke liberalisme ala Jokowi atau sosial demokrasi yang dianjurkan Rocky Gerung. Terpenting dari segalanya, negara punya kewajiban merawat nalar dan moral publik agar kompatibel dengan tatanan demokrasi!