Aksi Pemerintah Atasi Polusi Udara Jakarta Jangan Hanya di Tataran Politik
Masalah polusi udara di Jakarta bukan hal yang terjadi secara tiba-tiba.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eva Rianti, Ratna Ajeng Tejomukti, Muhyiddin
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengkritisi upaya pemerintah dalam melakukan pengendalian pencemaran udara di Jakarta dan sekitarnya. Menurut dia, upaya yang dilakukan pemerintah dinilai hanya bergerak di tataran politik.
Hal itu disampaikan menanggapi tidak maksimalnya kebijakan penerapan uji emisi kendaraan, alih-alih menerapkan work from home (WFH) untuk atasi masalah polusi udara. Terlebih mengenai gugatan yang dimenangkan oleh warga pada 16 September 2021 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai hak atas udara bersih, yang justru dilawan oleh pemerintah sendiri.
“Yang digugat mulai dari Presiden, menteri, sampai gubernur, apa yang terjadi? Mereka bukannya melaksanakan putusan itu, malah kasasi. Kalau kasasi berarti memperpanjang lagi. Kalau gugatan publik ya putusannya tinggal dilaksanakan kenapa malah kasasi? Ini kan menunjukkan ketidakseriusan. Jadi dalam hal ini kita melihat memang pemerintah selalu bermain di tataran politik saja,” kata Trubus kepada wartawan saat berkunjung ke Balai Kota DKI Jakarta, Senin (14/8/2023).
Trubus sangat menyayangkan sikap pemerintah melayangkan kasasi karena hal itu menunjukkan bentuk ketidakberpihakan pemerintah pada publik. Pengajuan kasasi diketahui dilakukan pada 13 Januari 2023. Pengajuan kasasi itu hingga saat ini masih berproses, Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Kota dan Semesta (Ibukota) selaku penggugat masih menunggu hasilnya.
Lalu, ketidakseriusan juga terlihat dari adanya kebijakan pemberlakuan uji emisi kendaraan yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Beleid yang mengatur itu adalah Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan. Menurut Trubus, pergub itu sudah cukup komplet sebagai upaya untuk mengendalikan pencemaran udara, namun tidak direalisasikan.
“Pergub 66 tahun 2020, sudah ada di situ, sudah mengatur semua tinggal diterapkan. Selama ini kan tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh, akibatnya persoalan polusi muncul seolah-olah ada kebakaran jenggot,” tutur Trubus.
Sementara itu, terkait dengan WFH yang diinstruksikan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas pada Senin (14/8/2023), Trubus mengungkapkan, bahwa WFH tidak akan efektif untuk mengendalikan pencemaran udara di Ibu Kota dan wilayah sekitarnya. Kebijakan itu dinilai sulit diterapkan karena dampaknya luas pada produktivitas pekerja dan perusahaan, terlebih pada perusahaan swasta yang sifatnya hanya bisa berupa imbauan.
“Kan kalau swasta, pemerintah juga harus memberikan kompensasi kepada swasta dong. Enggak bisa kebijakan itu seolah kamu harus patuh, yang ada paling cuma surat edaran atau imbauan. Kalau seperti itu ya enggak efektif,” tutur Trubus.
Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah Hening Purwati Parlan meminta pemerintah jangan seakan-akan merasa masalah buruknya kualitas udara di Jakarta terjadi tiba-tiba. Menurut Hening, masalah polusi udara saat ini adalah akumulasi dari berbagai hal yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya.
Hening menyindir pernyataan pihak Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) yang menyebutkan penyebab buruknya kualitas udara Jakarta dan sekitarnya. Namun, KLHK menurut Hening, seperti menutup-nutupi fakta ada sekitar 20-an PLTU berbahan bakar energi fosil dengan radius 100 kilometer dari Jakarta.
"Seperti udara di Bekasi tidak bisa ditahan masuk ke Jakarta, sehingga ini penyebab yang mengerikan dan ini bukan tiba-tiba terjadi,"ujar dia.
Hening juga menyebut kebijakan-kebijakan kontradiktif yang menjadi penyebab sulitnya masalah polusi udara teratasi. Ia mencontohkan, saat pemerintah mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum, di sisi lain, kredit pembelian mobil dan motor hingga kini sangat mudah didapatkan oleh masyarakat.
Hening pun mempertanyakan kemampuan ketegasan pemerintah dengan hal yang tidak mendukung peningkatan kualitas udara bersih. Padahal, idealnya
pemerintah harus bisa memberikan perlindungan bagi warga secara paralel dengan kebijakan yang diterapkan.
Adapun, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), Ace Hasan Syadzili meminta kepada pemerintah untuk mencari solus komprehensif terkait masalah serius ini.
“Kita harus mencari solusi atas polusi udara yang sangat tinggi di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa ada penyelesaian yang komprehensif dan terintegrasi,” ujar pria yang akrab disapa Kang Ace ini saat dihubungi Republika, Senin (14/8/2023).
Menurut dia, polusi udara ini menyangkut dengan kesehatan dan keselamatan warga. Jika kondisi ini dibiarkan, maka akan berakibat pada kesehatan masyarakat. Karena itu, menurut dia, pemerintah tidak boleh diam terhadap tingginya polusi udara di ibu kota ini.
“Pemerintah tidak boleh tinggal diam atas masalah yang sangat serius ini. Kebutuhan dasar yang paling fundamental bagi manusia itu adalah menghirup udara yang bersih, sehat dan segar,” ucap Kang Ace.
Kang Ace yang tinggal di daerah Tangerang Selatan, yang tingkat polusi udaranya terburuk di Indonesia akibat pergerakan udara dari daerah lain, juga tak bisa menyalahkan pemerintah setempat. Karena, menurut dia, polusi udara ini memang merupakan masalah yang harus diselesaikan secara nasional.
“Polusi udara ini masalah yang harus diselesaikan antara instansi terkait dan antar Pemerintah daerah, bahkan secara nasional,” kata dia.
“Bukan saja soal penggunaan transportasi yang harus dikendalikan, namun juga soal tata ruang yang dapat memitigasi pencemaran udara,” jelas Kang Ace.