DPR RI: Penurunan Stunting Solusi Keluar dari Middle Income Trap
Indonesia harus bisa memanfaatkan momentum bonus demografi di 2030.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Charles Honoris menyatakan bahwa program percepatan penurunan stunting menjadi prioritas dan solusi agar Indonesia dapat keluar dari perangkap pendapatan kelas menengah atau middle income trap.
“Kita harus bisa memanfaatkan momentum bonus demografi di tahun 2030 agar tidak berubah menjadi bencana demografi akibat stunting, dimana kita juga bercita-cita meraih Indonesia Emas 2045 sebagai negara yang memiliki pendapatan per kapita setara dengan negara maju, agar bisa keluar dari middle income trap,” kata Charles pada diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Diskusi Kelas Orang Tua Hebat kedelapan diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan tema "Kejar tumbuh pada balita" yang bertujuan untuk memastikan setiap anak memiliki kesempatan yang adil untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi mereka.
Charles menegaskan, cita-cita untuk keluar dari middle income trap bisa tercapai apabila Indonesia memiliki generasi baru yang sehat, kuat, dan tangguh, yang dimulai dari keluarga dengan memberikan pola asuh yang tepat.
“Kejar tumbuh balita menjadi penting karena balita adalah masa yang penuh dengan pembelajaran dan perkembangan yang tepat, ini adalah waktu dimana dasar-dasar yang kuat diletakkan untuk kemampuan kognitif, emosional, sosial, dan fisik dari anak-anak kita,” ujar Charles.
Ia memaparkan, di era globalisasi dan teknologi digital yang berkembang pesat, generasi balita dihadapkan pada tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, oleh karena itu penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk memberikan dukungan dan perhatian yang tepat demi memastikan anak-anak Indonesia bisa menghadapi tantangan di masa yang akan datang.
“Masa intervensi gizi yang paling menentukan ada pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (0-2 tahun), sampai dengan anak tumbuh dan berkembang optimal sesuai dengan usianya. Pada masa tersebut otak balita berkembang 80 persen, dan masa ini tidak dapat diulang kembali, sehingga apabila proses tumbuh kembang balita tidak maksimal, dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting,” lanjut dia.
Ia mengapresiasi peran seluruh kader Bina Keluarga Balita (BKB), Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK), dan kader posyandu yang telah bekerja keras melakukan program-program secara langsung di lapangan kepada masyarakat untuk menurunkan angka stunting.
“Saya mengapresiasi seluruh petugas di lapangan yang telah menjadi wadah dalam memberikan penyuluhan dan membina orang tua balita tentang bagaimana mengasuh anak secara baik dan benar, sehingga bersama-sama dapat kita wujudkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Angka prevalensi stunting menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pun juga turun di tahun 2022 sebesar 21,6 persen dibandingkan tahun 2021 yakni 24,4 persen,” katanya.
Ia menyatakan rasa optimistisnya dengan kerja sama dan gotong royong yang baik lintas sektor, maka target stunting 14 persen dapat tercapai, bahkan tidak menutup kemungkinan juga turun hingga mendekati nol persen.