Bawaslu Dorong KPU Revisi Aturan Usai MK Perbolehkan Kampanye Pemilu di Sekolah
Revisi PKPU dibutuhkan untuk mengatur lebih rinci ketentuan kampanye.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI merevisi regulasi terkait kampanye sebagai tindak lanjut atas putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan peserta pemilu kampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus). Revisi dibutuhkan untuk mengatur lebih rinci ketentuan kampanye di dua fasilitas tersebut.
"Iya (kita mendorong KPU merevisi ketentuan kampanye). Lebih bagus revisi dilakukan terhadap peraturan KPU (PKPU) supaya jelas di mana saja yang boleh dan metode apa saja yang boleh," kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (18/8/2023).
PKPU yang dimaksud Bagja adalah PKPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu. Bagja mengatakan, ketika merevisi PKPU tersebut, KPU harus mengatur secara detail fasilitas pemerintah dan pendidikan apa saja yang boleh digunakan sebagai tempat kampanye.
"Jadi yang harus diatur misalnya fasilitas pemerintah seperti apa, apakah fasilitas pemerintah itu termasuk gedung pemerintahan seperti istana negara dan balai kota," ujar Bagja.
"Misalnya balai kota, yang kita takutkan itu digunakan oleh pak wali kotanya untuk berkampanye meski tanpa atribut," kata Bagja menambahkan.
Dia menambahkan, harus diatur pula apakah kampanye di fasilitas pendidikan itu diperbolehkan di sekolah TK, SD, dan SMP. Hal ini harus diatur mengingat siswa TK hingga SMP belum masuk usia memilih.
Selain itu, lanjut dia, KPU juga harus mengatur metode kampanye apa saja yang diperbolehkan di fasilitas pendidikan dan pemerintah. Misalnya, kata dia, apakah boleh partai politik melakukan kampanye dengan metode rapat umum di kampus.
"Terbayang di kampus ada rapat umum partai, apalagi kampus negeri, boleh atau tidak? Makanya kita harus bicara ketentuan teknis detailnya," kata Bagja.
MK memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Hal itu merupakan bunyi Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).
Putusan tersebut bermula dari permohonan uji materi yang diajukan dua warga negara, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, karena menilai ada inkonsistensi norma terkait larangan kampanye dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 ayat 1 huruf h melarang kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah.
Sedangkan dalam bagian Penjelasan beleid itu, terdapat kelonggaran terkait larangan tersebut. “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan," demikian bunyi bagian Penjelasan itu.
Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian gugatan tersebut. MK menyatakan bagian Penjelasan pasal itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Kendati demikian, MK memasukkan bunyi bagian Penjelasan itu ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat 1 huruf h, kecuali frasa "tempat ibadah".
"Sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, '(peserta pemilu dilarang) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu'," demikian bunyi putusan MK itu.