Kenalan dengan Produk Keuangan Syariah SRIA
SRIA merupakan produk investasi syariah yang digagas oleh OJK.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inovasi produk keuangan syariah, Sharia Restricted Intermediary Account (SRIA) dikabarkan akan diluncurkan pada tahun depan. Namun, belum ada konfirmasi resmi mengenai hal itu.
SRIA merupakan produk investasi syariah yang digagas oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan didorong implementasinya oleh KNEKS. SRIA menonjolkan keunikan keuangan syariah karena mudharabah betul-betul diterapkan sebagai akad investasi.
Akan tetapi, harus ada insentif yang lebih besar yang diterima oleh investor agar mereka mau menanggung sendiri risiko investasinya. Oleh karena itu pembebasan dari Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi signifikan. Dari sisi bank bisa lebih hemat biaya. Potensi bagi hasil yang dibayarkan bisa jadi lebih besar.
Pengamat Ekonomi dan Keuangan Syariah, Ronald Rulindo mengungkapkan, sebenarnya produk SRIA sudah ada sejak dulu, hanya saja belum dalam bentuk yang sempurna. SRIA menjadi suatu hal yang penting karena semua simpanan dengan akad mudharabah bentuknya harus berupa akad investasi dan bukan berupa akad simpanan.
"Jadi harusnya bukan jadi liabilitas bank. Nah, OJK sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir telah berusaha menyempurnakannya. Dimulai dengan memisahkan pelaporan keuangannya, kalau mudharabah yang bukan profit sharing itu di liabilitas, dan mudharabah yang profit sharing itu, ditaruh di dana syirkah temporer (bagian dari dana pihak ketiga) yang kalau bahasa inggrisnya itulah yang disebut dengan investment account," terangnya kepada Republika, Senin (21/8/2023).
Bahkan, lanjut Ronald, beberapa bank sebenarnya sudah menerapkan SRIA dengan instrumen masih berupa deposito mudharabah yang full profit sharing. Ia juga mencontohkan BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) juga sudah pernah melakukannya dengan bank syariah, namun bentuk instrumennya disebut Pinjaman Yang Diterima (PYD).
"Cuma PYD ini kan bukan instrumen yang baku, ya. Namanya juga pinjaman jadi tidak mencerminkan kondisi akad yang sebenarnya. Karena kalau mudharabah itu jelas bukan pinjaman," terangnya.
Oleh karenanya di dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), diperkenalkan produk investasi, mewakili invesment account yang bukan lagi berbentuk giro tabungan dan deposito. Karena, bila berbentuk giro tabungan dan deposito, maka bukan masuk dalam produk investasi dan merupakan produk simpanan.
"Nanti akan rancu lagi karena simpanan itu dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sedangkan, investasi nature-nya tidak dijamin karena risiko ditanggung oleh investor, " ucapnya.
Ronald menambahkan, karena risiko ditanggung oleh investor, maka bank syariah tidak perlu mencadangkan modal sebesar pembiayaan biasa ketika menginvestasikan dana tersebut. Hal ini tentunya berbeda dengan pembiayaan yang didanai pakai dana simpanan, maka bank yang menanggung kerugiannya seharusnya, bukan si investor.
"Ketika nanti terjadi bank gagal, LPS nanti juga tidak boleh mengambil investasi milik investor tersebut. Karena memang bukan bagian dari aset bank. Jadi, investasinya akan dilikuidasi terpisah dan dananya idealnya tentu dikembalikan kepada investor," tuturnya.
Selain itu, investasi yang didanai investor tadi, seharusnya juga tidak masuk dalam Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD) jika yang jadi investor adalah bank induknya, pada kasus BUS dan BUK Induk. Karena, risiko akan ditanggung oleh BUK induk, maka perhitungan risikonya nanti ada di induknya, bukan di anaknya.
"Sama hal nya dengan bank yang mengeluarkan surat berharga dan pinjaman seperti sukuk, seharusnya, investasi yang didanai investor tersebut juga tidak masuk dalam perhitungan GWM dan RIM oleh Bank Indonesia. Nah, aturan aturan turunan tersebut ada yang sudah tersedia seperti aturan terkait KPMMnya," ungkapnya.