Konglomerat Dubai Tuduh Taliban Larang Perempuan Tinggalkan Afghanistan untuk Kuliah

Konglomerat Dubai mensponsori 100 perempuan Afganistan untuk berkuliah di UEA

EPA-EFE/STRINGER
Seorang siswi Afganistan meninggalkan Institut Pendidikan Tinggi Mirwais Neeka di Kandahar, Afganistan, 21 Desember 2022. Taliban yang berkuasa telah melarang perempuan untuk kuliah di Afganistan, menurut perintah yang dikeluarkan pada 20 Desember 2022. Setelah mendapatkan kembali kekuasaan, Taliban awalnya bersikeras bahwa hak-hak perempuan tidak akan terhalang, sebelum melarang anak perempuan berusia di atas 12 tahun untuk bersekolah awal tahun ini. Utusan PBB untuk negara itu, Roza Otunbayeva, sekali lagi mengutuk penutupan sekolah menengah untuk anak perempuan, sebuah langkah yang menurutnya berarti tidak akan ada lagi siswa perempuan yang memenuhi syarat untuk masuk universitas dalam waktu dua tahun.
Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Otoritas Taliban di Afghanistan dituduh telah melarang sekitar 100 perempuan untuk pergi berkuliah di Uni Emirat Arab (UEA). Tuduhan ini disampaikan oleh pemimpin konglomerat yang berbasis di Dubai, Khalaf Ahmad Al Habtoo.

Khalaf menyatakan dalam sebuah video yang diposting di platform media sosial X, akan mensponsori pendidikan universitas para perempuan Afghanistan tersebut. Dia pun telah mengalokasikan dana untuk sebuah pesawat yang kini telah jatuh tempo untuk menerbangkan mereka ke UEA pada Rabu (23/8/2023) pagi.

“Pemerintah Taliban menolak mengizinkan anak-anak perempuan yang datang untuk belajar di sini, seratus anak perempuan yang saya sponsori, mereka menolak mereka untuk naik pesawat dan kami sudah membayar biaya pesawatnya, kami sudah mengatur segalanya untuk mereka di sini, akomodasi, pendidikan, keamanan transportasi,” ujar ketua pendiri Al Habtoor Group dalam video tersebut.

Baca Juga




Juru bicara pemerintahan Taliban dan Kementerian Luar Negeri Afghanistan tidak segera menanggapi permintaan berkomentar atas tuduhan tersebut. Namun Al Habtoor menyertakan audio dari salah satu pelajar Afghanistan yang mengatakan, dia ditemani oleh pendamping laki-laki tetapi otoritas bandara di Kabul telah melarangnya dan orang lain untuk naik ke pesawat.

Pemerintahan Taliban telah menutup universitas dan sekolah menengah atas bagi pelajar perempuan di Afghanistan. Mereka biasanya mengizinkan warga Afghanistan meninggalkan negara itu, tetapi perempuan Afghanistan yang melakukan perjalanan jarak jauh dan ke luar negeri harus didampingi oleh pendamping laki-laki, seperti suami, ayah, atau saudara laki-laki.

Utusan Khusus PBB untuk Pendidikan Global dan mantan perdana menteri Inggris Gordon Brown mengatakan pada pekan lalu, agar Pengadilan Kriminal Internasional harus mengakui diskriminasi gender di Afghanistan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Dia menjelaskan, terdapat 54 dari 80 dekrit yang dikeluarkan oleh Taliban secara eksplisit menargetkan perempuan dan anak perempuan. Aturan-aturan tersebut pun merampas hak-hak mereka.

"Pendapat hukum yang kami terima menunjukkan bahwa penolakan pendidikan untuk anak perempuan Afghanistan dan pekerjaan untuk perempuan Afghanistan adalah diskriminasi gender," ujar Brown.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler