Pakar: Pemerintah Harusnya Tutup Situs Judi Online, Bukan Sekadar Blokir

Perputaran uang di judi online atau konservatif terus meningkat.

pixabay
Ilustrasi judi online. Pemerintah diminta menutup situs judi online bukan hanya sekadar memblokirnya.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Telematika Universitas Indonesia (UI), Edmon Makarim, melihat upaya pemblokiran situs-situs judi online yang dilakukan pemerintah sebagai hal lucu. Sebab, menurut dia, yang semestinya pemerintah lakukan bukan hanya sekadar memblokir jalan menuju ke situs tersebut, melainkan benar-benar menutup situsnya. 

Baca Juga


“Itu yang lucunya kita. Kok berpikirnya cuma blokir kalau ada situs ilegal. Kalau blokir kan cuma jalan ke sana yang ditutup. Shutdown dong situsnya. Berarti dihapuskan dia, nama domainnya hilang, datanya hilang. Terus ketemu nih siapa penyelenggaranya yang bertanggung jawab. Minta penghapusan data pribadi,” ujar Edmon dalam diskusi daring, Sabtu (26/8/2023).

Dia juga menyoroti sisipan iklan-iklan judi online yang menjadi gerbang masuk orang ke perjudian. Di mana, ketika seseorang menggunakan internet lewat ponsel pribadinya, iklan tersebut tiba-tiba datang dari situs ataupun sisipan dari operator nomor ponselnya. Edmon mempertanyakan pihak mana yang dapat bertanggung jawab atas konten-konten iklan tersebut, yang saat ini masih belum jelas.

“Siapa yang bertanggung jawab terhadap konten iklan itu, yang bertentangan dengan hukum. Itu jadi hal yang penting juga untuk dilihat,” kata Edmon.

Sementara itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan, perputaran uang judi, baik online maupun konservatif, terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan perputaran uang judi signifikan terlihat dari tahun 2021 ke 2022, dari sebelumnya di angka Rp 57 triliun menjadi Rp 81 triliun.

“Memang perputaran uang judi online ini, termasuk juga judi konservatif, itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Kalau kita lihat di angka tahun 2021 itu perputaran yang kita lihat ada Rp 57 triliun. Naik signifikan di 2022 menjadi Rp 81 triliun,” ujar Koordinator Kelompok Kehumasan PPATK, Natsir Kongah.

Dia menerangkan, judi online sudah merasuki berbagai kalangan. Gambaran mengenai hal itu dia dapatkan berdasarkan laporan-laporan terkait judi online yang masuk ke PPATK. Dia mengambil data laporan transaksi keuangan mencurigakan yang mengalami lonjakan nyaris tiga kali lipat pada 2021 ke 2022. 

“Dari 2021 kasus perjudian itu laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan itu ada 3.446. Itu pada 2022 berkali lipat menjadi 11.222. Nah di 2023 ini, Januari ada laporan transaksi keuangan mencurigakan 916, Februari 831, di Mei itu ada 1.096,” kata dia.

Natsir menjelaskan, jumlah uang per transaksi yang terkait dengan judi online beragam. Untuk pemain jumlah transaksi mulai dari puluhan ribu hingga puluhan juta. Tak sedikit dari mereka yang menggunakan e-wallet atau dompet digital sebagai tempat transaksi. Sementara di level bandar, mereka mengirimkan nominal yang lebih besar lagi kepada orang yang levelnya berada di atas mereka.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler