Senjata Uranium AS dan Rudal Balistik Rusia Panaskan Perang Ukraina

Di paket bantuan senjata terbaru, AS akan kirimkan senjata uranium.

EPA-EFE/VALDA KALNINA
Tank Abrams Angkatan Darat AS di area pelatihan militer Adazi, Latvia, 11 Juni 2016.
Red: Ferry kisihandi

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Perang di Ukraina memicu persaingan kekuatan senjata yang terus berlanjut. Rusia menyatakan rudal balistik antarbenua, Sarmat resmi akan digunakan di medan perang. Sementara, AS segera mengirimkan senjata uranium, depleted uranium munition. 

Baca Juga


Kepala Badan Ruang Angkasa Rusia, Roscosmos menyatakan, Jumat (1/9/2023) yang dikutip kantor berita pemerintah, RIA menyatakan rudal balistik antarbenua Sarmat yang mampu membawa 10 atau lebih hulu ledak nuklir sudah diputuskan untuk digunakan. 

Juni lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan, rudal Sarmat segera dikerahkan untuk digunakan dalam pertempuran. Rudal ini telah diuji coba tahun lalu dan Putin menyatakan senjata tersebut akan membuat musuh-musuh Moskow berpikir ulang. 

‘’Senjata baru yang kompleks ini punya karakteristik taktis dan teknis yang sangat tinggi, bisa mengatasi perangkat pertahanan antirudal. Ini benar-benar senjata unik yang akan memperkuat kemampuan tempur pasukan kami,’’ klaim Putin saat itu seperti dilansir laman Al-Arabiya

Putin menambahkan, rudal Sarmat ini menjamin keamanan Rusia dari ancaman dari luar. Mereka yang terus melakukan retoritika menyampaikan ancamana kepada Rusia, jelas dia, mesti berpikir lagi menghadapi keandalan rudal balistik antarbenua ini. 

Secara terpisah, Pemerintah AS untuk pertama kalinya akan mengirimkan senjata kontroversial yaitu senjata uranium, yang biasa disebut depleted uranium munitions ke Ukraina. Ini terungkap dari sebuah dokumen dan konfirmasi dua pejabat AS. 

Senjata ini bisa membantu Ukraina menghancurkan tank-tank Rusia dan menjadi bagian dari janji bantuan terbaru AS. Pekan depan AS akan mengumumkan apa saja paket bantuan ini yang bertujuan memperkuat serangan balik melawan Rusia.

Senjata ini bisa ditembakkan dari tank Abram buatan AS. Diharapkan senjata uranium AS dalam beberapa pekan ke depan sudah tiba di Ukraina. Seorang pejabat AS menyatakan, paket bantuan senjata ini bernilai 240 juta hingga 375 juta dolar AS tergantung isi paketnya. 

‘’Nilai dan isi paket bantuan ini masih difinalisasi,’’ kata pejabat AS. Gedung Putih belum merespons mengenai hal ini. Tahun ini, Inggris juga sebenarnya sudah mengirimkan senjara uranium. Namun ini akan menjadi pengiriman pertama AS dan diperkiraan menuai kontroversi. 

Kontroversi mencuat saat ...

Sebelumnya, kontroversi mencuat saat pemerintahan Presiden Joe Biden mengirimkan bom tandan. Sebab, bom ini membahayakan warga sipil karena biasanya ada bom-bom kecil dari bom tandan tak meledak saat serangan. Bisa meledak lama setelah kejadian. 

Penggunaan depleted uranium munitions memicu perdebatan. Pihak yang menentang, International Coalition to Ban Uranium Weapons menyatakan senjata ini membahayakan kesehatan akibat debu yang terhirup manusia. Bisa menyebabkan kanker dan kelahiran yang cacat. 

Depleted uranium yang dibuat untuk amunisi merupakan produk sampingan dari pengayaan. Karena kepadatannya yang ekstrem, membuatnya bisa melakukan penetrasi dan bisa memicu diri sendiri meladak di gumpalan debu dan bahan metal yang panas. 

AS menggunakan depleted uranium munitions secara masif pada 1990 dan 2003 saat mereka mengobarkan Perang Teluk. NATO menggunakannya pada 1999 ketika mereka melakukan pengeboman wilayah bekas Yugoslavia. 

International Atomic Energy Agency mengatakan, studi di negara bekas Yugoslavia, Kuwait, Irak, dan Lebanon mengindikasikan residu depleted uranium yang menyebar di lingkungan tak memiliki bahaya radiologi ke penduduk yang wilayahnya terdampak. 

Namun bagi Ukraina, material radio aktif yang masif ini akan menambah pekerjaan setelah perang usai. Beberapa bagian negara telah dipenuhi bom-bom kecil dari bom tandan yang tak meledak demikian pula dengan ranjau serta amunisi lain. 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler