Kasus Bayi Tertukar, Jika Anaknya Perempuan Lantas Bagaimana Hukum Perwaliannya?

Kasus bayi tertukar bisa berdampak pada hukum nasab dan perwalian

Republika/Shabrina Zakaria
Polres Bogor mengungkapkan dua bayi yang dilahirkan di RS Sentosa Bogor pada Juli 2022 memang tertukar dari hasil tes DNA yang dilakukan pada Senin (21/8/2023).
Rep: Fuji E Permana, Shabrina Zakaria  Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Pada zaman sekarang banyak orang melahirkan di rumah sakit (RS). Memang sangat jarang ada kasus bayi tertukar, tetapi kasus terakhir terjadi RS Sentosa, Bogor, Jawa Barat. Kasus bayi tertukar ini menghebohkan publik dan hasil tes DNA menguatkan kedua bayi memang tertukar.   

Baca Juga


Pertanyaannya, jika ada bayi perempuan yang tertukar kemudian dibesarkan hingga menikah, bagaimana hukumnya?   

Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Miftahul Huda, menjelaskan, selama tertukarnya bayi tersebut tanpa kesengajaan dan tidak diketahui, anak tersebut tetap sah menjadi anak kandung dan perwalian serta hukum waris pun dapat dilakukan.

"Karena secara pengetahuan dan keyakinan yang bersangkutan anak tersebut adalah anak kandungnya," kata Kiai Miftahul kepada Republika.co.id, Ahad (3/9/2023)

Namun, lain cerita jika bayi yang tertukar itu diketahui telah tertukar. Maka perlu ada usaha untuk mencari ayah kandung aslinya untuk menjadi wali nikah. 

Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Abdul Muiz Ali mengatakan, jika ternyata diketahui bayinya tertukar, pastikan atau cari dulu tertukar dengan siapa. Sampai betul-betul ada penjelasan menurut ahli bahwa itu anaknya sendiri atau tertukar. Kalau anaknya sendiri, maka dalam hal nikah atau waris dan lain sebagainya berlaku ketentuan sebagaimana yang diatur dalam urutan wali nikah. 

"Tapi, jika betul anak ini tertukar, anak tersebut tidak punya hubungan nasab dengan orang atau ayah yang mengasuhnya, orang tua yang mengasuhnya tidak boleh jadi wali nikah dan anak tersebut tidak mendapatkan warisan dari ayah asuhnya untuk yang menikahkan hak walinya adalah hakim (di KUA)," kata Kiai Muiz. 

Kiai Muiz juga menyampaikan, wali nikah adalah orang yang punya otoritas syari untuk menjadi wali. Ada urutan dalam fikih yang berhak menjadi wali nikah. 

Baca juga: Kecemburuan Hafshah, Putri Umar Bin Khattab yang Memicu Turunnya Ayat Alquran 

Menurut Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghayah wa Taqrib, wali paling utama adalah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara laki-laki seayah seibu (kandung), saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu (kandung), anak laki-laki saudara laki-laki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak laki-laki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya, jika tidak ada waris ‘ashabah, bisa diwakilkan oleh hakim. 

"Bagi perempuan yang tidak punya wali nikah, yang menikahkan adalah hakim. Zaman dulu sultan, dalam kontek keindonesiaan sekarang hakim bisa melalui KUA," ujar Kiai Muiz. 

Baca juga: https://news.republika.co.id/berita/s0becx409/ibu-dian-ungkap-fakta-baru-dan-kronologi-bayinya-tertukar-di-rs-sentosa-part2

Kiai Muiz juga menjelaskan, bagaimana jika ada anak perempuan diasuh orang lain, menjadi anak angkat atau anak tiri. Maka tetep yang menjadi wali nikah adalah ayah kandungnya kalau masih ada, bukan ayah asuh yang menikahkan.

"Sering kejadian, karena mengasuh sejak kecil, sudah dewasa akan menikahkan, kemudian ayah asuhnya mau bertindak sebagai wali nikah, maka tidak boleh," ujar Kiai Muiz. 

Jika kasusnya anak perempuan dibuang oleh orang tuanya, kemudian hidup di panti asuhan sehingga tidak diketahui siapa orang tuanya dan keluarganya. Kiai Muiz mengatakan, dalam kasus seperti itu, maka yang menikahkan adalah hakim dalam hal ini pihak KUA. 

Pada Jumat, dua ibu bayi tertukar, Siti Mauliah...

 

 

 

Pada Jumat, dua ibu bayi tertukar, Siti Mauliah (37 tahun) dan Dian Prihatini (33) datang bersama suami dan para kuasa hukumnya ke Polres Bogor. Kuasa hukum Siti Mauliah, Rusydiansyah Nur Ridho, mengatakan laporan ini dibuat setelah RS Sentosa mengajukan restorative justice namun tidak ada kesepakatan.

“Kemarin pihak rumah sakit mengajukan restorative justice, dan tenyata dalam kesepakatan itu deadlock tidak ada kata sepakat. Akhirnya memang hari ini kami akan membuat laporan kepolisian. Itu juga sudah permintaan dari klien kami dan ini juga akan membuat laporan kepolisian dari Ibu D juga seperti itu,” kata Rusydi ketika ditemui Republika di Mapolres Bogor, Jumat (1/9/2023).

Rusydi mengatakan, RS Sentosa dilaporkan dengan UU Perlindungan Konsumen, Pasal 62. Di mana dalam laporan ini keduanya menyasar sang pelaku usaha, yakni RS Sentosa sendiri.

“Yang akan kita sasar dalam laporan ini pelaku usahanya bukan individu dari perawatnya,” ujarnya.

Ia menyebutkan, dalam laporan ini pihaknya membawa beberapa barang bukti. Di antaranya hasil tes DNA silang dari Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri dan gelang bayi.

“Kemudian juga beberapa bukti-bukti yang nanti akan kami sampaikan kepada penyidik,” ucapnya.

Baca juga: 10 Peringatan dan Bahayanya yang Diabadikan dalam Alquran untuk Umat Manusia

Kuasa Hukum Ibu Dian, Binsar Aritonang, mengatakan pihaknya juga melaporkan RS Sentosa dengan pasal yang sama dengan pihak Siti Mauliah. “Ibu Dian dengan Ibu Siti itu sama, sama-sama korban dan merasakan hal yang sama. Seperti saya bilang juga,” ucapnya.

Dia pun sempat menyinggung kerugian immateriil yang diderita oleh kliennya. Di mana menurutnya kerugian itu tidak bisa dinilai dengan nominal uang.

“Nggak ada yang bisa menilai kerugian yang mereka hadapi, satu tahun jauh dari anak kandungnya sendiri siapa yang bisa menilai kerugian itu?” kata Binsar.   

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler