Prancis Larang Makanan Nabati Gunakan Istilah Daging

Larangan ini untuk menghindari klaim menyesatkan atas sejumlah daging alternatif.

PxHere
Daging nabati (ilustrasi). Prancis mengumumkan revisi proposal yang melarang penggunaan nama daging seperti steak dan iga untuk makanan nabati yang dibuat di negara tersebut.
Rep: Dwina Agustin Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Prancis mengumumkan revisi proposal yang melarang penggunaan nama daging seperti steak dan iga untuk makanan nabati yang dibuat di negara tersebut. Penetapan ini sebagai upaya untuk menghindari klaim menyesatkan atas sejumlah daging alternatif.

“Rancangan keputusan baru ini mencerminkan keinginan kami untuk mengakhiri klaim yang menyesatkan… dengan menggunakan nama yang berkaitan dengan produk daging untuk bahan makanan yang tidak mengandung daging,” kata Menteri Pertanian Prancis Marc Fesneau dalam sebuah pernyataan pada Senin (4/9/2023).

Sebagai negara pertama di Uni Eropa (UE) yang berupaya menerapkan pembatasan semacam itu, Prancis telah mencoba menerapkan kebijakan tersebut pada Juni 2022. Namun tindakan tersebut ditangguhkan oleh pengadilan administratif tertinggi di negara tersebut sebulan kemudian. Penangguhan ini dilakukan dengan alasan bahwa kebijakan tersebut terlalu kabur dan tidak jelas dengan waktunya terlalu singkat.

Pasar protein nabati global mengalami peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir, terutama didorong oleh meningkatnya permintaan akan makanan ramah lingkungan dan sehat. Industri ini sering menggunakan referensi pada produk daging, sehingga memicu kemarahan di kalangan peternak dan pengolah daging di Prancis, produsen pertanian terbesar di UE.

Rancangan keputusan baru yang hanya berlaku untuk produk yang dibuat dan dijual di Perancis ini melarang daftar 21 nama daging untuk menggambarkan produk berbasis protein, termasuk steak, escalope, spare ribs, ham atau butcher. Namun, lebih dari 120 nama yang terkait dengan daging seperti ham matang, unggas, sosis, atau bacon akan tetap diizinkan asalkan produk tersebut tidak melebihi jumlah protein nabati tertentu, dengan persentase berkisar antara 0,5 dan enam persen.

“Ini adalah masalah transparansi dan loyalitas yang memenuhi harapan konsumen dan produsen,” ujar Fesneau.

Keputusan ini akan mulai berlaku tiga bulan setelah diterbitkan untuk memberikan waktu kepada operator untuk menyesuaikan labelnya. Hal ini juga membuka kemungkinan bagi produsen untuk menjual seluruh stok produk yang diberi label sebelum diberlakukan, paling lambat satu tahun setelah dipublikasikan. 

Baca Juga


sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler