Nasdem Curiga Pemanggilan Muhaimin tak Murni Hukum

Nasdem meminta agar KPK independen dalam pemberantasan korupsi.

Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Muhaimin Iskandar
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pemenangan Pemilu Partai Nasdem, Effendy Choirie atau Gus Choi mengkritisi upaya pemanggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Muhaimin Iskandar. Ia curiga, pemanggilan tak murni dalam kaitannya untuk penegakan hukum.

Korupsi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) terkait sistem proteksi tenaga kerja Indonesia (TKI) itu diketahui terjadi pada 2012. Saat itu, Muhaimin masih menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi periode 2009-2014.
Baca Juga



"Kita tidak otomatis mengatakan (KPK) ditunggangi, tapi punya persepsi bahwa kita curiga langkah KPK ini tidak murni hukum. Ketika kita punya persepsi atau asumsi seperti itu InsyaAllah kami tidak salah, karena dia mengumumkan, memeriksa Cak Imin itu persis setelah deklarasi," ujar Gus Choi di Nasdem Tower, Jakarta, Selasa (5/9/2023).

Ia pun mengingatkan agar lembaga antisaruah tersebut independen dalam pemberantasan korupsi. Bukan menjadi lembaga yang menjadi alat politik untuk menjatuhkan sosok atau kelompok tertentu.

"Selama 11 tahun tidak ada kelanjutan proses hukum, tiba tiba begitu Cak Imin dideklarasikan sebagai cawapres, tiba tiba muncul dari KPK. Terus kita yang waras yang sehat wal afiat masa mengikuti begitu saja pikirannya dari KPK, tentu ada pikiran yang berbeda," ujar Gus Choi.

"Ini betul proses hukum atau ini politik? KPK betul menjadi alat penegak hukum dalam konteks pemberantasan korupsi atau menjadi alat politik?" sambungnya bertanya.

Mantan penasihat KPK, Abdullah Hehamahua juga menanggapi upaya pemanggilan KPK terhadap Muhaimin. Jelasnya, pemanggilan tersebut merupakan bukti bahwa lembaga tersebut saat ini menjadi alat politik.

"Hari ini anda tahu bahwa KPK itu sudah milik Istana, jadi sehingga demikian semua masuk proses Istana. Jadi kalau Istana mau, ya seperti itu, misalnya Cak Imin berada di kubu sana, KPK tidak ngomong apa," ujar Abdullah.

Ia sendiri sudah delapan tahun di KPK sejak 2005 hingga 2013 dan menjadi bagian dari penyusun standar operasional prosedur (SOP). Salah satu yang disepakati dengan DPR periode saat itu adalah untuk menunda status tersangka terhadap calon yang maju dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.

"Ada kesepakatan dengan DPR dulu bahwa menghadapi pemilu, pileg, pilpres, seseorang yang masuk dalam radar KPK yang dipersyaratkan ditersangkakan ditunda," ujar Abdullah.

"Kenapa? karena KPK tidak ingin dijadikan sebagai alat politik, tetapi lembaga hukum, nanti kalau urusan pemilu, urusan pilpres baru kemudian diproses. Jadi kalau misalnya Cak Imin betul memenuhi persyaratan, sudah terpilih jadi wakil presiden, bisa diproses," sambungnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler