Bolehkah Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW?
Maulid Nabi Muhammad SAW diperingati pada bulan Rabiul Awal.
REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi agenda tahunan yang dirayakan oleh umat Islam, khususnya di Indonesia. Puncak perayaan Maulid Nabi tahun ini akan dirayakan umat Islam pada 28 September 2023 mendatang. Pemerintah juga telah menetapkan hari itu sebagai hari libur nasional
Maulid Nabi sendiri diisi dengan mengadakan ceramah agama, pembacaan sholawat nabi, maupun perlombaan yang berkaitan dengan syiar agama Islam, yang bertujuan untuk mengingatkan kembali kenangan umat Islam atas keagungan Nabi Muhammad SAW.
Meskipun peringatan Maulid nabi menyatakan hal positif dan merupakan salah satu syiar agama Islam, tetapi pada kenyataannya pelaksanaan peringatan Maulid Nabi sampai saat ini masih mengandung perdebatan. Ada beberapa kalangan yang membolehkan dan ada juga yang menentangnya.
Kendati demikian, penulis buku “Amalan Sepanjang Tahun: Meraih Pahala di Bulan-Bulan Hijriah”, Fadillah Ulfa lebih cenderung kepada pendapat yang memperbolehkannya selama peringatan Maulid Nabi tersebut mengandung hal-hal positif dan tidak bertentangan dengan syariat serta hanya sebatas bagian dari syiar Islam.
Dia pun mengungkapkan beberapa dalil yang membolehkan peringatan Maulid Nabi. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Fadillah menjelaskan bahwa sesungguhnya orang pertama yang merayakan kelahiran Nabi SAW adalah beliau sendiri. Kenyataan itu berdasarkan dalil hadits riwayat Abi Qatadah Al Anshari bahwa salah seorang Areb Badui mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya mengenai puasa yang beliau lakukan pada hari Senin, Beliau menjawab,
ذاك يوم ولدت فيه ويوم بعثت اوانزل علي فيه
“Itu adalah hari ketika aku dilahirkan dan hari saat kenabian (wahyu) diturunkan kepadaku,” (HR Baihaqi).
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa alasan Rasulullah SAW berpuasa hari Senin adalah karena hari Senin adalah hari kelahiran beliau dan hari ketika wahyu untuk pertama kali diturunkan kepada beliau.
“Kenyataan itu menunjukkan bahwa perbuatan Rasulullah SAW, yaitu beliau memperhatikan hal-hal penting dan mengingatnya dengan melakukan ibadah sebagai tanda rasa syukur kepada Allah Ta’ala,” jelas Fadillah.
Lalu apa saja dali-dalil yang membolehkan perayaan Maulid Nabi? Berikut beberapa dalil yang diungkapkan dalam buku “Amalan Sepanjang Tahun: Meraih Pahala di Bulan-Bulan Hijriah” karya Fadillah Ulfa:
1. Diriwayatkan bahwa Rasulullah mengakikahkan diri beliau setelah kenabian. Padahal. sebagaimana yang diketahui bahwa kakek beliau, Abdul Muthalib, telah mengakikahkan beliau pada hari ketujuh kelahiran beliau, sementara praktik Akikah hanyalah dilakukan satu kali (tidak diulang).
Menurut Ustadzah Fadillah, hal itu menunjukkan bahwa perbuatan Rasulullah tersebut merupakan salah satu bentuk kesyukuran beliau kepada Allah atas kelahiran beliau sebagai rahmat bagi semesta alam dan diturunkan syariat bagi umatnya.
“Oleh karena itu, kita sebagai umat diperbolehkan untuk mengucapkan rasa syukur kepada Allah atas kelahiran beliau dengan mengadakan majelis-majelis yang didalamnya khusus mengingat pribadi beliau yang mulia,” jelas jebolan Pondok Pesantren Modern Gontor Putri tersebut.
2. Peringatan Maulid Nabi juga merupakan salah satu bentuk ittiba’ (mengikuti atau mencontoh) apa yang telah dibawa Alquran. Menurut Ustadzah Fadillah, di dalam Alquran juga telah menceritakan kisah kelahiran beberapa orang nabi sebelum nabi Muhammad SAW.
Seperti kisah kelahiran nabi Musa dalam Surat Al-Qashash yang menceritakan seputar kondisi sebelum kelahiran nabi Musa, saat-saat beliau dilahirkan, serta kondisi setelah beliau dilahirkan sampai beliau diangkat menjadi nabi dan rasul.
Begitu juga dengan kisah kelahiran nabi Yahya bin Zakaria dalam surat Maryam dan Ali Imran, serta kisah kelahiran nabi Isa dalam surat Ali Imran.
3. Peringatan Maulid Nabi merupakan salah satu bentuk kapan rasa syukur, suka kita, dan perasaan bahagia atas kedatangan Rasulullah SAW di muka bumi. Ternyata orang-orang kafir juga mendapatkan manfaat dari bentuk suka cita yang seperti itu.
Disebutkan dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari bahwa Urwah berkata, “Tsuwaibah adalah salah seorang budak perempuan Abu Lahab, ia dibebaskan oleh Abu Lahab, lalu ia menjadi ibu susuan Rasulullah SAW. Ketika Abu Lahab dunia, salah seorang keluarganya melihatnya di dalam mimpi dalam keadaan yang buruk. Lalu dia bertanya, ‘Apa yang engkau jumpai (setelah kematian)?’ Abu Lawab menjawab, sepeninggal kalian aku tidak pernah berhenti (disiksa), tetapi aku berikan minum karena perbuatanku yang membebaskan Tsuwaibah.”
4. Perasaan Sukacita dan bahagia atas kelahiran Rasulullah juga merupakan salah satu perkara yang diajarkan Alquran, yaitu melalui Firman Allah yang berbunyi,
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS Yunus ayat 58).
Allah SWT telah memerintahkan kita untuk bersukacita dan bergembira dengan datangnya rahmat Allah, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, seperti yang tertera di dalam Alquran,
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
Aritnya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al-Anbiya ayat 107).
Oleh karena itu, menurut Ustadzah Fadillah, perasaan gembira dan bahagia dengan kedatangan Rasulullah merupakan anjuran yang semestinya dilakukan kapanpun dan dimanapun. Namun, tuntunan itu semakin ditekankan setiap hari Senin dan setiap tahun, khususnya pada bulan Rabiul Awal karena memang momennya lebih tepat dan lebih sesuai.
5. Sesungguhnya perayaan peringatan Maulid Nabi SAW adalah salah satu bentuk menghidupkan kembali kenangan serta ingatan akan pribadi nabi Muhammad SAW, yang demikian merupakan hal yang disyariatkan di dalam Islam.
“Bukankah kita melihat bahwa sebagian besar ritual ibadah haji juga merupakan salah satu bentuk menghidupkan kembali kenangan-kenangan serta momen-momen yang mulia? Bukankah ibadah sa’i, melontar jumrah, dan kurban merupakan peristiwa-peristiwa masa lampau yang dihidupkan kembali oleh umat Islam melalui ibadah haji?,” kata Ustadzah Fadillah.