Beda dengan NU, MUI Justru Klaim Bahan Kimia Karmin tak Najis, ini Penjelasannya

MUI punya pandangan tersendiri mengenai karmin sehingga punya penilaian berbeda.

zat pewarna (ilustrasi)
Rep: Andrian Saputra Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penggunaan karmin dalam beberapa produk makanan dan minuman serta kosmetik tengah menjadi perbincangan. Masalahnya, hasil fatwa LBM PWNU Jawa Timur menyatakan bahwa karmin najis dan haram dikonsumsi. 

Baca Juga


Hal itu sebab karmin yang menjadi pewarna dalam beberapa makanan dan minuman serta kosmetik berasal dari kutu daun (cochineal). Produk-produk makanan dan minuman (mamin) dengan karmin biasanya menggunakan keterangan kode E-120. 

Lalu bagaimana hasil kajian Majelis Ulama Indonesia (MUI)?

Komisi fatwa MUI sebenarnya sudah lama melakukan kajian tentang karmin. Hasil kajian MUI memfatwakan bahwa cochineal halal digunakan dalam makanan minuman dan kosmetik. Sekretaris komisi fatwa MUI KH Miftahul Huda mengatakan bahwa terjadinya perbedaan fatwa disebabkan karena perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam pengelompokan cochineal

"Terkait penggunaan karmin sebagai pewarna makanan atau minuman secara kajian fikih memang ada perbedaan pendapat di antara ulama. Perbedaan tersebut dikarenakan ada perbedaan dalam mengelompokkan cochineal apakah termasuk serangga yang diharamkan atau tidak," kata kiai Miftahul Huda kepada Republika.co.id pada Rabu (27/09/2023). 

Kajian MUI tentang karmin telah dilakukan pada 2011. Dan hasilnya menetapkan bahwa cochineal pada belalang yang termasuk hewan halal.

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

"Komisi Fatwa MUI telah mengkaji dan meneliti permasalahan terkait pada tahun 2011. Dari hasil kajian terhadap dalil-dalil dan pendapat para ulama serta hasil penelitian, MUI menetapkan bahwa cochineal dikelompokkan pada kelompok belalang yang termasuk hewan halal (bahkan bangkainya juga halal)," kata kiai Miftahul Huda.

Ia mengatakan berdasarkan kajian MUI cochineal dan belalang masuk dalam kelas insecta

"Di antara hasil kajian yang dilakukan oleh MUI adalah sebagai berikut, secara kekeluargaan cochineal dan belalang masuk dalam satu kelas yaitu insecta, secara siklus kehidupan keduanya sama, yaitu dari telur kemudian nimfa dan terakhir adalah belalang atau cochineal, secara habitat juga sama hidup di dedaunan. Makanan juga sama yaitu daun. Keduanya juga tidak mempunyai darah yang mengalir," katanya 

Dalam laman resmi Halal MUI.org Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati, menjelaskan, dilihat dari bahan dasarnya, yakni cochineal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa, yakni halal.

Pada tahun 2011 MUI melalui Keputusan Komisi Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011, menjelaskan bahwa serangga cochineal merupakan serangga yang hidup di atas kaktus dan makan pada kelembaban dan nutrisi tanaman. Cochineal merupakan binatang yang mempunyai banyak persamaan dengan belalang dan darahnya tidak mengalir. Adapun pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.

Muti Arintawati mengingatkan bahwa penggunaan pewarna juga membutuhkan adanya bahan pelarut, bahan pelapis, hingga bahan pengemulsi agar warna semakin cerah, tidak mudah pudar, dan stabil.

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Bahan pelarut dapat menggunakan bahan etanol, triacetin atau gliserin. Gliserin salah satunya dapat dihasilkan dari proses hidrolisis lemak hewani. Bahan pelapis dapat menggunakan sumber gelatin, yang umumnya berasal dari gelatin hewani. Bahan pengemulsi dapat menggunakan turunan asam lemak yang berasal dari asam lemak hewani.

Mengingat bahan tambahan pada pewarna alami tersebut banyak menggunakan bahan dari hewan, maka harus dipastikan bahwa bahan tersebut berasal dari hewan halal yang diproses secara halal.

Sebelumnya, Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur memfatwakan bahwa pewarna dengan bahan karmin hukumnya najis dan haram dikonsumsi. Karena itu, pewarna dengan bahan karmin tidak boleh digunakan sebagai pewarna makanan dan minuman, perlengkapan makeup dan lainnya. 

Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur KH Marzuki Mustamar saat mengisi ceramah di haul ke-47 KH. Atqon Pondok Pesantren Mambaul Ulumayong pada Ahad (24/2023). Kiai Marzuki Mustamar yang juga pimpinan Pondok Pesantren Sabilirrosyad, Gasek, Malang, Jawa Timur, mengatakan bahwa LBMNU Jatim telah memutuskan tentang hukum penggunaan karmin (carmine), yakni pewarna yang terbuat dari kutu daun (cochineal) atau serangga bersisik subordo Sternorrhyncha. Serangga ini biasa hidup di kaktus, memakan kelembapan dan nutrisi tanaman.

Menurut Kiai Marzuki, serangga ini dibudidayakan di negara-negara Eropa. Setelah dipanen dan dikeringkan, lalu kutu daun ini digiling untuk selanjutnya dijadikan campuran zat pewarna makanan olahan yang disebut karmin. Kiai Marzuki mencontohkan, karmin biasanya digunakan pada makanan seperti es krim berwarna merah. Begitu juga dengan yoghurt berwarna merah yang biasanya menggunakan karmin. Makanan-minuman yang menggunakan karmin biasanya menyertakan keterangan kode E-120. 

"Bahtsul Masail Jawa Timur memutuskan karmin haram dan najis kecuali menurut pendapat Imam Qoffal itu haram saja, tidak najis, tapi selain itu (ulama fikih menghukumi) haram dan najis. Karena itu, saya minta kepada semua jamaah yang biasa ke toko, warung, berjualan es krim merah, berjualan yoghurt merah, berjualan Yakult merah tolong diteliti, merahnya itu pakai karmin atau tidak. Biasanya ditulis karmin atau kode E-120, kalau ada itu jangan dibeli. Yang sudah telanjur dibeli, jangan dijual. Untuk makan ayam saja," kata Kiai Marzuki dalam acara tersebut yang juga diunggah videonya oleh kanal Youtube SABBIH.

 

Lihat halaman berkutnya >>>

 

Lebih lanjut, Kiai Marzuki mengatakan karmin juga digunakan sebagai warna dalam lipstik, coklat merah. 

Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim, KH Romadlon Chotib menguatkan apa yang telah disampaikan oleh Kiai Marzuki Mustamar. Ia mengatakan  setiap makanan atau apa pun yang menggunakan karmin biasanya ada kode E-120. Untuk itu, jika melihat kode E-120 dalam makanan ataupun makeup supaya dihindari.

“Karena hal itu, kita sudah memutuskan (dalam bahtsul masail) bahwa (karmin) itu merupakan bagian yang diharamkan menurut Imam Syafi’i. Dan kita adalah orang-orang dari kalangan Syafi’iyah,” ujarnya saat Konferensi Pers Hasil Bahtsul Masail LBMNU Jatim di kantor PWNU Jatim, Selasa (12/09/2023).

Ia menyebutkan bahwa selama ini ulama sering kali menghindari hal tersebut. Sebab, menghindari sesuatu yang haram itu merupakan bagian dari upaya mencari keberkahan dalam hidup. Berkah tersebut dimaksudkan bahwa dalam kehidupan itu semakin hari semakin tenang dan damai.

“Kalau orang yang sering makan barang haram itu kan hatinya semakin keras dan sulit untuk dikendalikan. Sehingga apa yang diputuskan dari LBMNU Jatim hendaknya menjadi perhatian bersama,” ucapnya.

Perhatian terhadap hasil keputusan tersebut dianggap penting karena Lembaga Bahtsul Masail (LBM) atau bahtsul masail itu sendiri adalah dari perjuangan Nahdlatul Ulama secara keseluruhan. Sebab dalam bahtsul masail tidak kurang dari 30 kitab turats dikaji oleh tokoh-tokoh yang memang konsen di bidangnya.

“Makanya, setiap menanggapi suatu persoalan pasti ada dasar dari maqalah-maqalah ataupun kitab-kitab klasik. Itu yang menjadi keistimewaannya,” tandasnya.

Sebagai informasi, hasil bahtsul masail itu memutuskan bahwa bangkai serangga (hasyarat) tidak boleh dikonsumsi karena najis dan menjijikkan, kecuali menurut sebagian pendapat dalam mazhab Maliki.

Adapun penggunaan karmin dalam untuk keperluan selain konsumsi, semisal untuk lipstik, menurut Jumhur Syafi’iyah tidak diperbolehkan karena dihukumi najis. Sedangkan, menurut Imam Qoffal, Imam Malik, dan Imam Abi Hanifah, hal itu dihukumi suci sehingga diperbolehkan karena serangga tidak mempunyai darah yang menyebabkan bangkainya bisa membusuk.

Pewarna karmin tersebut dapat ditemukan di antaranya dalam produk pangan komersial, seperti yoghurt, susu, permen, jello, es krim, dan pangan lainnya yang berwarna merah hingga merah muda.

 

Karmin sendiri adalah pewarna merah yang usianya sudah sangat tua, berasal dari suku Aztec di tahun 1500-an. Ketika orang Eropa menemukan budaya mereka selama eksplorasi, mereka menggunakan ekstrak serangga berjenis cochineal atau kutu daun sebagai pewarna untuk kain dengan warna merah cerah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler