Harga Gabah di Food Estate Kalimantan Naik
Harga gabah food estate Kalimantan naik dari Rp 5.000 jadi Rp 8.000 per kg.
REPUBLIKA.CO.ID, PALANGKA RAYA -- Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Godfridson mengatakan, kenaikan harga gabah dalam musim panen tahun ini membuat petani di daerahnya bisa memperoleh keuntungan lebih baik dibanding panen sebelumnya.
"Kita menerima laporan terakhir bahwa harga jual gabah kering giling (GKG) petani mengalami kenaikan dari yang biasanya kisaran Rp 5.000 naik menjadi Rp 8.000," kata Godfridson di Pulang Pisau, dilansir Antara, Jumat (29/9/2023).
Menurut Godfridson, meningkatnya keuntungan petani tersebut sangat menggembirakan. Apalagi, hasil panen petani juga tidak terpengaruh dengan faktor cuaca yang sekarang masuk musim kemarau. Musim kemarau justru membantu untuk proses pemasakan padi.
Ia mengungkapkan, kenaikan harga beras di Jawa tidak berpengaruh signifikan terhadap harga di kabupaten setempat. Kemungkinan kenaikan harga beras tersebut dipengaruhi musim kemarau sehingga beberapa daerah di Jawa mengalami kekeringan dan gagal panen. Berkurangnya ketersediaan lahan pertanian akibat kemajuan zaman juga menjadi salah satu faktor penyebab.
"Berbeda dengan lahan pertanian di Kabupaten Pulang Pisau, yang berada di daerah pasang surut air sungai sehingga tidak ada kendala saat musim kemarau," ujarnya.
Godfridson juga mengungkapkan, sebagai salah satu kabupaten yang masuk dalam program strategis nasional food estate, tentu setiap hasil produksi panen para petani mengalami surplus beras yang melimpah. Bukan saja bisa memenuhi ketersediaan beras di Kalimantan Tengah, hasil beras dari petani setempat bisa memasok kebutuhan beras ke daerah lain.
"Dukungan infrastruktur jalan yang saat ini sudah memadai membuat para pengepul dari Kalimantan Selatan, banyak membeli hasil panen petani dari kabupaten setempat," kata dia.
Terkait dengan kemungkinan pola tanam dan panen tiga kali dalam setahun, Godfridson mengatakan tidak menutup kemungkinan bisa dilakukan, tapi untuk saat ini masih berisiko bagi para petani. Beberapa alasan di antaranya adalah tenaga dan kemauan dari petani itu sendiri serta ketersediaan infrastruktur tata kelola air mikro ke lahan pertanian petani masih belum terpenuhi.
Dukungan program dari Balai Wilayah Sungai Kalimantan II dalam normalisasi saluran sekunder diharapkan bisa menjawab keinginan dari para petani sehingga mereka bisa lebih maksimal dalam mengelola lahan pertanian yang dimiliki untuk mendapatkan hasil panen dan keuntungan yang lebih baik lagi. "Pola tanam yang diterapkan saat ini baru dua kali dalam setahun. Untuk merubah pola menjadi tiga kali tanam, harus didukung dengan infrastruktur tata kelola air yang memadai juga perlu antisipasi berbagai kemungkinan kendala yang dihadapi para petani," kata Godfridson.