Armenia Berupaya Gabung dengan Pengadilan Kriminal Internasional
Langkah ini semakin memperburuk hubungan Armenia dengan sekutu lamanya, Rusia.
REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN -- Parlemen Armenia pada Selasa (3/10/2023) melakukan pemungutan suara untuk bergabung dengan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Langkah ini semakin memperburuk hubungan Armenia dengan sekutu lamanya, Rusia.
Pada September lalu, Moskow menyebut upaya Armenia untuk bergabung dengan ICC sebagai langkah tidak bersahabat, dan Kementerian Luar Negeri Rusia memanggil duta besar Armenia. ICC telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Presiden Vladimir Putin atas kejahatan perang dengan mendeportasi anak-anak Ukraina.
Negara-negara yang telah menandatangani dan meratifikasi Statuta Roma, wajib menangkap Putin, jika ia menginjakkan kaki di negara mereka. Para pejabat Armenia berpendapat, tindakan tersebut tidak berkaitan dengan Rusia. Langkah Armenia bergabung dengan ICC dipicu agresi Azerbaijan terhadap negara tersebut.
Anggota parlemen memilih untuk meratifikasi Statuta Roma dengan suara 60-22. Presiden Armenia harus menandatangani keputusan tersebut, yang akan mulai berlaku 60 hari setelah pemungutan suara.
Armenia telah memulai proses bergabung dengan ICC lebih dari 20 tahun yang lalu. Namun pada 2004 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Statuta Roma bertentangan dengan konstitusi negara tersebut pada saat itu, sehingga proses tersebut terhenti.
Sejak itu, konstitusi Armenia telah diamandemen dua kali. Pada Maret, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa kewajiban para penandatangan Statuta Roma sejalan dengan konstitusi yang ada.
Utusan Armenia untuk masalah hukum internasional, Yegishe Kirakosyan mengatakan, Yerevan memutuskan untuk melanjutkan proses bergabung dengan ICC karena dugaan agresi Azerbaijan terhadap Armenia. Para pejabat Armenia tahun lalu menuduh Azerbaijan membunuh sejumlah tawanan perang Armenia.
Yerevan ingin yurisdiksi ICC berlaku mulai 10 Mei 2021. Namun berdasarkan perjanjian pendirian ICC, Armenia kemungkinan harus membuat deklarasi terpisah untuk menerapkan hal tersebut.
Hubungan Armenia dengan Rusia memburuk secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2020, Moskow menjadi perantara kesepakatan yang mengakhiri perang enam minggu antara Armenia dan Azerbaijan. Perjanjian tersebut mengamanatkan agar Yerevan menyerahkan sebagian besar wilayah di dan sekitar Nagorno-Karabakh kepada Azerbaijan. Wilayah Nagorno-Karabakh adalah bagian dari Azerbaijan yang mayoritas penduduknya adalah orang Armenia.
Rusia kemudian mengirim sekitar 2.000 pasukan penjaga perdamaian ke wilayah yang bergejolak. Armenia mengklaim pasukan Rusia gagal mencegah permusuhan baru-baru ini oleh Azerbaijan, yang menyebabkan Baku mengambil kendali penuh atas wilayah Nagorno-Karabkah.
Kremlin menuduh Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan mempercepat jatuhnya Nagorno-Karabakh dengan mengakui kedaulatan Azerbaijan atas wilayah tersebut. Moskow juga menyalahkan Armenia karena merangkul negara-negara Barat, termasuk menjadi tuan rumah bagi pasukan AS untuk latihan militer gabungan.
Masih belum diketahui apakah Pashinyan akan membawa Armenia keluar dari Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif yang didominasi Moskow, sekelompok negara bekas Soviet, dan aliansi lain yang dipimpin Rusia. Armenia juga menjadi tuan rumah pangkalan militer Rusia, dan penjaga perbatasan Rusia membantu berpatroli di perbatasan Armenia dengan Turki.