Tak Kunjung Umumkan Cawapres, Gerindra Bantah Tunggu Putusan MK
Politisi Gerindra Riza Patria membantah Prabowo tak umumkan cawapres karena tunggu MK
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengatakan, bakal calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto akan diumumkan pada momentum yang tepat. Ia membantah jika pihaknya menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan usia minimal cawapres.
Diketahui, jika putusan tersebut dikabulkan MK, terdapat isu yang menyebut bahwa Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka akan diusulkan menjadi bakal cawapres dari Prabowo. Apalagi nama tersebut juga diusulkan oleh Partai Bulan Bintang (PBB) yang menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Maju.
"Saya kira itu soal lain (putusan MK dengan pengumuman bakal cawapres Prabowo). Kita menghormati konstitusi kita dan proses JR di Mahkamah Konstitusi," ujar Riza di kediaman Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Afriansyah Ferry Noor, Jakarta, Ahad (8/10/2023).
Kendati demikian, ia tak menampik jika nama tersebut memang diusulkan ke pihaknya untuk menjadi bakal cawapres dari Prabowo. Namun ia menekankan, nama pendamping Menteri Pertahanan itu akan dibahas bersama dengan ketua umum partai politik dalam koalisinya.
Selain nama Gibran, Partai Golkar mengusulkan Airlangga Hartarto sebagai pendamping Prabowo pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Lalu, Partai Amanat Nasional (PAN) mendorong Menteri BUMN Erick Thohir menjadi bakal cawapres dari Prabowo.
"Insya Allah partai-partai lainnya yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju yang akan memusyawarahkan, mendialogkan, dan memutuskan bersama. Jadi keputusan (calon) wapres yang disampaikan oleh pada pimpinan partai itu menjadi hak dan kewenangan pimpinan partai koalisi," ujar Riza.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan HAM (Polhukam) Mahfud MD menilai Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berwenang mengubah aturan tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Menurut dia, Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang sedang diuji materi di MK, hanya boleh ditentukan atau diubah oleh DPR dan pemerintah selaku positive legislator.
“Mahkamah Konstitusi itu kerjanya sebagai negative legislator, artinya hanya membatalkan kalau ada sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. MK tidak boleh membatalkan sesuatu yang tidak dilarang oleh konstitusi,” ujar Mahfud ketika ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Mahfud mengacu pada sejarah lahirnya MK di Austria pada 1920 oleh Hans Kelsen. Yakni dengan dalil bahwa pengadilan itu dibentuk sebagai negative legislator. Dengan begitu, MK berperan membatalkan peraturan yang dibentuk oleh parlemen atau DPR.
“Dan kita tidak boleh mengintervensi Mahkamah Konstitusi. Ilmu ini sudah diketahui oleh semua hakim konstitusi. Kita tidak boleh mengintervensi, biar dia melihat sendiri apakah benar ini open legal policy atau tidak,” tutur Mahfud.