Lahirnya Imam Syafi’i di Palestina dan Pencarian Ilmunya
Imam Syafii yang merupakan seorang ulama besar lahir di Palestina.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Syafii adalah salah satu dari empat Imam besar mazhab Sunni. Ulama yang memiliki gelar Syaikhul Islam ini lahir pada tahun 150 H (767 M) di Ghaza, Palestina. Pada tahun yang sama, seorang Imam Besar Mazhab Sunni, Abu Hanifah, wafat.
Imam Syafi’i adalah satu-satunya Imam yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad SAW karena beliau berasal dari suku Quraisy Banu Muttalib, yang merupakan suku saudara dari Bani Hasyim (suku Nabi Muhammad)
Imam Syafi'i telah kehilangan ayahnya saat masih bayi dan dibesarkan oleh ibunya dalam keadaan yang sangat miskin. Khawatir akan terbuangnya garis keturunan putranya, ibunya lalu memutuskan untuk pindah ke Makkah, tempat tinggal kerabat mereka.
Imam Syafi’i masih sangat muda saat itu. Sebagian ulama menyebutkan bahwa beliau berumur dua tahun ketika ibunya hijrah dari Gaza ke Makkah.
Syafi’i kecil kemudian memperoleh pendidikan agama di kota Makkah dan Madinah. Menurut beberapa sumber, dia pun sudah bisa menghafal Alquran pada usia tujuh atau sembilan tahun.
Pendidikan awalnya ditandai dengan kemiskinan yang menyebabkan ibunya tidak mampu membayar biaya pendidikannya. Akibatnya, alih-alih berpartisipasi dalam kelas, imam muda tersebut hanya duduk di pinggir lapangan dan menyimak semuanya hanya dengan mendengarkan apa yang diajarkan gurunya kepada anak-anak lain di kelas.
Syafi’i menjadi begitu mahir dalam mempelajari dan menyimpan ilmu meskipun hanya dengan mendengarkan, sehingga pada saat gurunya berhalangan untuk mengambil kelas, ia akan turun tangan dan mengambil kelas tersebut untuk mengajar teman-temannya.
Gurunya sangat terkesan dengan kemampuannya sehingga dia menerimanya sebagai siswa formal tanpa biaya apapun. Imam Syafi’i sendiri pernah berkata:
“Setelah saya selesai belajar Alquran, saya akan pergi ke Masjid dan duduk bersama para ulama yang menyampaikan sabda Nabi Muhammad SAW dan hal-hal keislaman. Saya dulu tinggal di Makkah di antara penghuni tenda dalam keadaan miskin sehingga saya bisa bahkan tidak mampu menulis dengan kertas, jadi aku akan menulis di atas batu dan tulang."
Menuntut Ilmu ke Madinah
Dilansir dari islamicfinder, pada usia lima belas atau delapan belas tahun, gurunya telah memberikan izin kepada Imam Syafi’i untuk mengeluarkan keputusan hukum Islam atau fatwa.
Saat masih menuntut ilmu di Makkah, dia pun mendengar tentang ulama ternama Madinah, Imam Malik Ibnu Anas. Dia ingin menjadi murid Imam Maalik namun dia melihat dengan kecerdasannya yang tajam bahwa dia tidak boleh mendatanginya tanpa persiapan.
Sebelum bertemu, dia pun menghafal kitab terkenal Imam Malik "Al Muwatta" hanya dalam sembilan hari. Setelah itu, barulah ia pergi menemui Imam Malik di rumahnya di Madinah. Syafi’i berbicara dengan fasih dan sopan kepada Imam dan mengatakan kepadanya bahwa dia ingin menjadi muridnya.
Lama Imam Malik memandang ketika Syafi’i muda bercerita tentang bagaimana dia mencari ilmu selama ini. Imam Malik mempunyai wajah yang menakjubkan dan wawasan yang tajam, lalu dia berkata kepada Syafi’i:
"Anakku! Dengan izin Allah, kamu akan memiliki masa depan yang cerah. Besok datanglah padaku dan bawalah bersamamu seseorang yang bisa membaca 'Muwatta' dengan baik karena aku khawatir kamu tidak akan bisa membacanya sendiri."
Al-Syafi'i pun menanggapinya dengan kesopanan yang sama
“Imam, saya akan membacanya sendiri dari hafalan tanpa kitab.”
Selama jangka waktu sembilan tahun, Al-Syafi’i menetap di Madinah hingga wafatnya Imam Malik pada tahun 179 H (790 M).
Sepeninggal Imam Malik, Imam Syafi’i kembali ke Makkah dengan membawa segudang ilmu yang mempengaruhi kehidupannya.
Di Makkah ia kemudian dinikahkan dengan Hamidah binti Nafi, cucu dari Khalifah ketiga Utsman bin Affan. Ia memiliki tiga anak, dua putra Abu Utsman dan Abul Hasan serta seorang putri bernama Fatima.