MK Akomodasi Gibran Cawapres, Pengamat: Putusan yang Terstruktur dan Sistematis

Pengamat sebut putusan MK sangat terstruktur dan sistematis akomodasi Gibran cawapres

Republika/Thoudy Badai
Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Pengamat sebut putusan MK sangat terstruktur dan sistematis akomodasi Gibran cawapres
Rep: Fauziah Mursid Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin merespon putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan seorang mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaibbirru Re A, yang ingin mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Baca Juga


Putusan ini pun mengakomodasi Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden pada Pilpres 2024 sebagaimana perbincangan publik beberapa waktu terakhir.

Karena itu, Ujang mengaku tidak heran karena putusan MK yang akhirnya membuka keran Gibran untuk berkontestasi di Pilpres. Sebab, sudah ada bocoran-bocoran MK memang menolak uji materi batas usia cawapres, tetapi mengakomodasi syarat pernah berpengalaman menjadi kepala daerah.

"Jadi usianya tetap tetapi narasi penambahan pernah menjabat kepala daerah itu akan diputuskan, ternyata betul putusannya, prediksi prediksi bocoran itu ternyata benar. Jadi ya kelihatannya ini memang didesain TSM terstruktur sistematis dan masif, ya, dari kelompok tertentu untuk menggunakan Mahkamah Konstitusi melegalkan Gibran ya sebagai cawapres," ujar Ujang dalam keterangannya kepada Republika, Senin (16/10/2023).

Ujang pun menyebut putusan MK sebagai tragedi demokrasi yang tidak bagus. MK menunjukan kelasnya dengan tidak bersikap negarawan untuk kepentingan bangsa dan masyarakat luas.

"Mestinya hakim MK menjadi seorang negarawan untuk bangsa dan negara bukan untuk kepentingan Jokowi dan keluarganya, apalagi hanya untuk kepentingan Gibran mengakomodasi sebagai cawapres," ujarnya.

Karena itu, Ujang pun menilai sudah sewajarnya jika publik mulai tidak memiliki kepercayaan kepada MK sebagai lembaga penjaga konstitusi. Apalagi narasi putusan ini telah muncul sebelum putusan dan terbukti benar.

"Publik itu sudah membaca arah-arah putusan MK itu sejak lama, bocoran itu kan sudah ada dan betul, apa yang ditangkap oleh kita semua, MK memang menerima Gibran sebagai cawapres ujungnya seperti itu karena ada frase asal punya pengalaman atau sedang menjabat sebagai kepala daerah," ujarnya.

"Jadi keliatannya permainan politik tingkat tinggi ya yang sudah kita baca sejak lama ya, inilah Indonesia, instrumen hukum itu kelihatannya masih bisa dikendalikan oleh kekuasaan," tambahnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Dalam gugatannya, Almas memilih Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk sebagai kuasa hukum. Permohonan itu diterima MK pada 3 Agustus 2023. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Padahal di putusan perkara sejenis lainnya, MK memutuskan menolak keseluruhan permohonan uji materi terkait batas usia capres-cawapres maupun pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler