Studi: Sampah Luar Angkasa Ikut Mencemari Bumi

Bongkahan roket dan lainnya tinggalkan jejak logam di atmosfer.

NASA
Sampah Antariksa yang dirancang untuk dibuang di luar angkasa ikut mencemari Bumi.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi baru menemukan bahwa sampah Antariksa yang dirancang untuk dibuang di luar angkasa ikut mencemari Bumi. Bongkahan-bongkahan roket, stasiun luar angkasa, dan satelit yang mati meninggalkan jejak-jejak logam yang sangat kecil di atmosfer planet kita.

Baca Juga


Pada saat ini, tidak diketahui apa dampak dari jejak-jejak tersebut. Namun, dengan semakin banyaknya peluncuran benda-benda ke luar angkasa, jumlah uap logam di stratosfer diperkirakan akan terus meningkat.

Tim peneliti yang dipimpin oleh Daniel Murphy, fisikawan dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Ia pun menyerukan untuk menyelidiki dampak uap logam di atmosfer, dan proyeksi bagaimana hal itu akan berubah seiring waktu.

Murphy menjelaskan bahwa saat ini, material tahan api dalam partikel stratosfer sebagian besar adalah besi, silikon, dan magnesium dari sumber meteor alami. Namun, jumlah material dari masuknya kembali roket dan satelit diproyeksikan akan meningkat secara dramatis dalam 10 hingga 30 tahun ke depan.

“Akibatnya, jumlah aluminium dalam partikel asam sulfat stratosfer diperkirakan akan sebanding dengan atau bahkan melebihi jumlah besi meteorik, dengan konsekuensi yang tidak diketahui untuk inklusi dan nukleasi es,” kata Murphy seperti dilansir Science Alert, Jumat (20/10/2023).

Meskipun ada banyak sampah di orbit Bumi dari tahun-tahun awal era antariksa manusia, peluncuran yang lebih baru dibuat dengan mempertimbangkan masa hidup yang terbatas. Wahana antariksa yang pada akhirnya akan mengorbit dan jatuh kembali ke Bumi sedang dirancang, dengan menggunakan bahan yang akan terbakar di atmosfer bagian atas, dan bukannya jatuh ke permukaan.

Namun, masih belum jelas apa yang terjadi pada produk sampingan yang menguap saat masuk kembali ke Bumi. Murphy dan rekan-rekannya ingin mengetahui apakah uap dari de-orbit ini bertahan di stratosfer. Mereka mengambil sampel aerosol stratosfer dan menganalisisnya menggunakan instrumen Particle Analysis by Laser Mass Spectrometer (PALMS) di pesawat WB-57 milik NASA.

Aerosol di stratosfer sebagian besar berupa tetesan asam sulfat, yang dihasilkan oleh oksidasi gas karbon disulfida yang terjadi secara alami dan sebagai polutan di atmosfer. Tetesan ini dapat mengandung jejak logam dan silikon yang diperoleh dari masuknya meteor ke atmosfer, yang permukaannya menguap saat jatuh.

Tim peneliti menganalisis sekitar 500 ribu tetesan aerosol, mencari jejak logam yang digunakan dalam pembuatan pesawat ruang angkasa. Mereka mendeteksi sekitar 20 logam.

Beberapa logam tersebut memiliki rasio yang konsisten dengan meteor yang menguap: tapi yang lainnya, seperti lithium, aluminium, tembaga, dan timbal, melebihi jumlah yang diharapkan dari ablasi meteor. Kelebihan tersebut, menurut tim peneliti, konsisten dengan rasio yang diharapkan dari pembuatan pesawat ruang angkasa.

Logam lain yang mereka temukan, seperti niobium dan hafnium, merupakan logam yang umum ditemukan di pesawat ruang angkasa, tapi tidak ditemukan di meteor. Secara keseluruhan, tim menemukan sekitar 10 persen aerosol stratosfer di atas ukuran tertentu merupakan partikel yang tersisa dari wahana antariksa yang menguap.

Ada beberapa efek yang bisa ditimbulkannya pada Bumi dan atmosfer. Keberadaan partikel-partikel ini dapat mempengaruhi bagaimana air membeku menjadi es di stratosfer, dan memengaruhi ukuran partikel aerosol stratosfer. Partikel-partikel ini juga dapat menyebabkan pengendapan garam pada partikel aerosol, dan mengubah pembiasan cahaya di stratosfer.

“Hal ini mungkin tampak seperti perubahan yang tidak kentara, tapi bisa jadi memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan yang harus diselidiki lebih lanjut. Apalagi industri antariksa telah memasuki era pertumbuhan yang pesat. Dengan puluhan ribu satelit kecil yang direncanakan untuk orbit rendah Bumi, peningkatan massa tersebut akan dibagi menjadi lebih banyak peristiwa masuk kembali," kata tim peneliti.

Penelitian ini telah dipublikasikan di Proceedings National Academy of Sciences.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler