Dua Wanita Lansia Israel Dibebaskan Atas Mediasi Qatar dan Mesir

Para sandera dibebaskan karena alasan kemanusiaan dan alasan kesehatan yang buruk.

Al Qassam brigades via AP
Gambar ini diambil dari video yang dirilis oleh brigade Al Qassam di saluran Telegramnya, menunjukkan Yocheved Lifshitz, 85, tengah, dan Nurit Cooper, 79, dikawal oleh Hamas saat mereka dilepaskan ke Palang Merah di lokasi yang tidak diketahui, Senin, (23/10/2023).
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, RAFAH -- Kelompok perlawanan Palestina, Hamas kembali membebaskan dua sandera yang merupakan wanita lanjut usia (lansia) Israel. Juru bicara sayap bersenjata Hamas, Abu Obeida mengatakan, kedua tawanan itu dibebaskan setelah mediasi dari Qatar dan Mesir.

Baca Juga


Abu Obeida mengatakan, para sandera telah dibebaskan karena alasan kemanusiaan dan alasan kesehatan yang buruk. Dua wanita lansia yang dibebaskan itu adalah Yocheved Lifshitz (85 tahun) dan Nurit Cooper (79 tahun).

“Kami berharap mereka segera kembali bersama orang-orang yang mereka cintai,” kata Komite Palang Merah Internasional (ICRC), dilaporkan Aljazirah, Senin (23/10/2023).

Hamas menangkap lebih dari 200 orang, termasuk warga Israel dan warga berkewarganegaraan ganda, dalam serangan di Israel selatan pada 7 Oktober. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuntut pembebasan tanpa syarat seluruh sandera yang ditahan di Gaza. Kelompok hak asasi manusia, organisasi internasional, dan keluarga para tawanan juga menyerukan pembebasan mereka secepatnya.

Pembebasan sandera pertama sejak serangan tanggal 7 Oktober terjadi pada Jumat (20/10/2023). Ketika itu Hamas membebaskan dua wanita berkewarganegaraan Amerika Serikat yaitu Judith Raanan dan putrinya Natalie, menyusul upaya mediasi yang dilakukan Qatar.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar mengatakan, pembebasan tersebut dilakukan setelah komunikasi terus menerus selama berhari-hari dengan semua pihak yang terlibat.

Abu Obeida sebelumnya mengatakan, Hamas menawarkan untuk membebaskan dua tawanan lainnya bersama Judith dan Natalie pada Jumat lalu, namun ditolak oleh otoritas Israel. Israel menyebut tawaran tersebut sebagai propaganda palsu.

Israel menyatakan bahwa Hamas berusaha memperbaiki citranya karena beredar cerita mengerikan tentang orang-orang bersenjata Hamas yang membunuh warga sipil Israel.

Ketika militer Israel bersiap untuk melakukan invasi darat ke Jalur Gaza yang terkepung, keluarga korban yang diculik dan ditawan dihadapkan pada dilema yang menyakitkan. Beberapa keluarga mendesak pemerintah Israel untuk memprioritaskan pembebasan sandera, sementara yang lain mengatakan mereka memahami penekanan pada penyerangan Hamas.

“Kita perlu berbicara dengan Hamas. Kita tidak bisa selalu melakukan perang.  Kami punya begitu banyak tahanan Palestina yang bisa kami tukarkan dengan rakyat kami,” kata Carmel Gorni, seorang aktivis politik yang sepupunya Yiftah Gorni terbunuh dalam serangan itu, kepada kantor berita Reuters.

“Jika tentara kita masuk, banyak orang akan mati, termasuk para sandera," ujar Gorni.

Menurut sebuah laporan di New York Times, AS menekan Israel untuk menunda serangan darat guna memberikan lebih banyak waktu untuk menjamin pembebasan sandera yang ditawan. Israel telah mengabaikan kehidupan warga sipil Palestina dalam menanggapi serangan Hamas.

Israel memutus akses terhadap makanan, air, bahan bakar, dan listrik bagi 2,3 juta penduduk Gaza. Israel juga melancarkan kampanye serangan udara tanpa henti yang  telah meratakan seluruh lingkungan Gaza. Lebih dari 5.000 warga Palestina telah gugur dalam pengeboman Israel, termasuk ribuan anak-anak dan perempuan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler