PDIP Sebut Nama yang Usulkan Presiden Tiga Periode, Luhut, Airlangga, Hingga Cak Imin
Djarot PDIP bandingkan Megawati dan Jokowi berbeda dalam menyikapi dinasti politik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP PDIP Djarot Saeful Hidayat menceritakan kembali awal mula isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode berhembus. Hal itu dimulai dari adanya wacana amandemen terbatas terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Ketua Badan Pengkajian MPR tersebut menjelaskan, amandemen terbatas dilakukan untuk melahirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Namun saat itu, Fraksi PDIP DPR mengendus adanya pihak yang mengupayakan untuk mengamandemen terkait periodisasi masa jabatan presiden.
"Setelah ramai-ramai seperti itu, saya diperintah oleh Bu Ketua Umum setop, setop. Tidak usah lagi berbicara masalah amandemen terbatas, karena berbahaya dan bisa dijadikan pintu masuk, merembet ke pasal-pasal yang lain, makanya kita setop," ujar Djarot di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Senin (30/10/2023).
Eks gubernur dan wakil gubernur DKI itu pun menanggapi pernyataan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, yang mengaku isu perpanjangan masa jabatan presiden merupakan usulan pribadinya. Dengan nada sarkas, Djarot menyinggung nama lain yang menggaungkan isu tersebut.
Mulai dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Panjaitan dan Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar. Termasuk Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan saat masih menjabat sebagai wakil ketua MPR.
"Ya bagus, termasuk idenya (Bahlil) sendiri, Pak Luhut, idenya sendiri Pak Airlangga, idenya sendiri Pak Cak Imin, terus Pak Zulhas. Idenya sendiri kok banyak banget," ujar Djarot.
"Artinya apa? Terorganisasi dengan rapi? Tapi statement-statement itu, itu juga kita cermati dan kami jaga. Selalu hasil kajian dari kami, itu kami sampaikan kepada pimpinan-pimpinan (MPR) untuk dilakukan sidang," kata Djarot menambahkan.
Sebelumnya, Bahlil angkat bicara soal isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kembali diungkit PDIP baru-baru ini. Bahlil menegaskan, isu tersebut berawal darinya dan murni hasil pemikiran ia sendiri, bukan arahan orang lain.
Bahlil heran dengan usulan yang sudah berlalu itu diungkit-ungkit kembali oleh PDIP. "Sekarang sudah terjadi (Pemilu 2024), sudah berlalu, kok masih ada yang bilang bahwa (usulan) tiga periode itu dari seseorang," ujar Bahlil.
Lawan politik dinasti...
Djarot Saeful Hidayat mengungkapkan, adanya perbedaan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo dalam berpolitik. Dia menyebut, Megawati tak pernah menerapkan politik dinasti terhadap anak-anaknya, baik Puan Maharani ataupun Prananda Prabowo.
Dia menjelaskan, Puan menjadi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) hingga Ketua DPR saat Megawati tak menjadi presiden. Sehingga, tak ada relasi kekuasaan dalam proses pemilihan tersebut.
"Ini kalau masalah dinasti dari keturunan, tapi bagaimana kita sekarang ini di masyarakat berkembang ‘Ini Jokowi bangun dinasti’. Ya ketika dia berkuasa, ketika dia berkuasa, betul di dalam proses demokrasi itu semua orang itu punya hak untuk dipilih dan memilih, tapi ada etikanya, ada batas-batasnya," ujar Djarot.
PDIP memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) yang mencegah terjadinya politik dinasti. Salah satunya adalah melarang keluarga inti berada dalam satu lembaga legislatif di tingkatan yang sama.
"Jadi kita PDI Perjuangan itu melawan dinasti politik, kita batasi, itu pun satu keluarga maksimal tiga. Jadi tidak bisa di PDI Perjuangan, misalnya suaminya PDI Perjuangan, istrinya partai X, anaknya partai W, adiknya partai yang berbeda, dengan harapan dia menguasai parlemen misalnya," ujar Djarot.
Di samping itu, PDIP mengenal yang namanya nilai etika, moral, dan adab dalam berpolitik. Djarot juga kembali mencontontohkan Puan yang sebenarnya bisa mengikuti Pilpres 2024, tetapi Megawati tak melakukan hal tersebut.
"Jadi sekali lagi untuk dinasti politik, PDI Perjuangan berada di garis terdepan, jangan sampai (politik dinasti) terjadi. Mas Gibran jadi Wali Kota karena memang Pak Jokowi kader partai ketika menginginkan anaknya untuk maju, tak hanya anaknya menantunya juga, tapi melalui proses," ujar Djarot.