Kemendikbudristek: Cegah Depresi dengan Saling Asah, Asih, Asuh di Kampus
Indonesia masih memiliki tantangan dalam pengembangan program kesehatan jiwa.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam mengatakan, mahasiswa dan dosen yang depresi hingga bunuh diri sejatinya dapat dicegah dengan menciptakan kampus yang sehat, aman, dan nyaman. Di mana, ada saling asah, asih, dan asuh di antara seluruh sivitas akademika.
“Itu harusnya tidak terjadi ketika kita saling peduli, kita saling asah, asih, dan asuh,” ujar Nizam dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RSJ dr H Marzoeki Mahdi (PKJN RSJMM) Bogor bersama Cempaka Study Club, Senin (30/10/2023).
Nizam menjelaskan, sejak diberi amanah untuk menjadi pimpinan di Kemendikbudristek pada 2020 lalu, dirinya terus menekankan untuk menciptakan kampus yang sehat. Dia membuat istilah SAN untuk dihadirkan kampus, yang berarti sehat, aman, dan nyaman. Terkait sehat, hal itu dia sebut perlu dimaknai secara holistik.
“Pertama tentu kita perlu dan pastikan sehat secara fisik. Masyarakat kampus itu rajin berolah raga, tidak merokok. Kemudian juga hidupnya sehat, imbang antara aktivitas akademik, aktivitas kebugaran, istirahat, dan sebagainya. Jadi, sehat fisik itu penting, sangat-sangat penting,” kata Nizam.
Kemudian, kata dia, sehat intelektual juga perlu diperhatikan. Di mana, sangat penting bagi mahasiswa sebagai intelektual muda untuk membangun kesehatan intelektual. Itu dapat dilakukan dengan mahasiswa dan dosen berdiskursus secara kritis, analitis, bernas, tapi juga dikemas ke dalam solusi-solusi yang baik dan disampaikan secara santun.
“Karena kita masyarakat Timur. Jadi sehat intelektual. Kebebasan mimbar akademik, kebebasan akademik itu dijaga betul dan disampaikan dengan baik dan santun,” tutur dia.
Kesehatan yang tak kalah penting menurut Nizam adalah sehat emosional atau sehat psikologis. Sehat emosional, kata dia, membutuhkan prasarat yang banyak, termasuk di dalamnya sehat fisik dan sehat intelektual di atas. Dia menyampaikan, kesehatan jiwa dan psikologis kerap dipandang hanya menjadi urusan psikolog serta pengampu bimbingan dna konselin. Padahal tidak.
“Tidak, menurut saya itu adalah kebutuhan kita semua dan bisa kita lakukan bersama-sama. Melalui kampus yang care, kampus yang caring, saling peduli,” jelas Nizam.
Sebab itu, pemerintah menggaungkan agar kampus membangun safety, health, and environment. Kesehatan psikologis dia sebut harus dibangun tidak dengan satu program tersendiri. Unit yang mengurusi kesehatan psikologis, kesehatan emosional, memang diperlukan. Tapi itu menjadi bagian dari pembelajaran secara bersama-sama.
“Menjadi sikap dan perilaku kita. Jadi bagian dari budaya kita. Saling peduli, saling asah, saling asih, saling asuh. Kakak dan adik. Orang tua dan anak. Suasana itu harus kita bangun di lingkungan kampus kita,” kata dia.
Pada webinar yang didukung oleh Meeting.ai itu Direktur Utama PKJN RSJMM Nova Riyanti Yusuf menerangkan, Indonesia masih memiliki tantangan dalam pengembangan program kesehatan jiwa, seperti regulasi yang masih ambigu, kekurangan data, dan keterbatasan anggaran. Dari data yang dia sampaikan, terjadi tren peningkatan perilaku self harm atau menyakiti diri sendiri.
“Tahun 2000 6,5 persen. Tahun 2019 meningkat menjadi 8,1 persen. Jadi ada peningkatan untuk gangguan mental, neurologis, penyalahgunaan zat, dan self harm. Self harm berarti menyakiti diri sendiri,” ucap Nova.
Dia menjelaskan PKJN RSJMM bertanggung jawab sebagai koordinator nasional untuk pengampuan dan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Di mana, pengembangan layanan kesehatan jiwa berbasis komunitas merupakan salah satu tujuan utama saat ini.
“Pengembangan layanan kesehatan jiwa berbasis komunitas merupakan salah satu tujuan utama saat ini,” ujar dia.