Musim Tanam Bisa Mundur Akibat El Nino, Kementan Siapkan Antisipasi

El Nino menyebabkan mundurnya musim tanam mengakibatkan terlambat produksi beras.

Republika/Wihdan Hidayat
Kementerian Pertanian menilai, iklim kemarau ekstrem El Nino tak berdampak begitu signifikan terhadap laju penurunan produksi beras. (ilustrasi)
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian menilai, iklim kemarau ekstrem El Nino tak berdampak begitu signifikan terhadap laju penurunan produksi beras. Namun, El Nino bisa menyebabkan mundurnya musim tanam yang mengakibatkan terlambatnya produksi beras nasional. 


”Jika biasanya musim tanam Oktober, karena belum hujan tanam mejadi mundur. Kalau tanam mundur berdampak pada panen tahun depan. Ini yang dikhawatirkan tahun depan, Januari, Februari mengalami penurunan produksi. Tahun ini sih tidak signifikan,” kata Direktur Irigasi Pertanian Direktorat Saranan Pertanian Kementerian Pertanian, Rahmanto, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (1/11/2023). 

Mengutip data BPS, Rahmanto mengatakan, tren luas panen padi saat ini mencapai 10,45 juta hektare dengan produksi 54,74 juta ton gabah keringi giling (GKG) atau 31,75 ton beras dengan produktivitas 5,2 ton per hektare. Sementara itu, Kementerian telah menargetkan produksi beras pada tahun depan sebanyak produksi gabah 54,74 juta ton pada 2024 mendatang atau setara 35 juta ton beras. 

Dengan tantangan mundurnya musim tanam akibat El Nino sementara produksi ditargetkan naik, Kementan telah menetapkan dua strategi. Yakni dengan meningkatkan indeks pertanaman (IP) padi dan perluasan areal tanam. 

Ia menjelaskan, saat ini  indeks pertanaman lahan sawan irigasi rata-rata baru 1,68 atau belum mencapai dua kali musim tanam secara penuh dalam setahun. ”Kalau kita tingkatakn IP jadi 1,92 atau penambahan luas tanam 1.076.125 hektare akan menyumbang produksi sebanyak 3,2 juta ton. Jadi, target peningkatan produksi bisa dengan mudah tercapai,” katanya.

Sedangkan untuk sawah non irigasi yang luasnya mencapai tiga juta hektare saat ini, rata-rata indeks pertanaman masih satu kai setahun. “Jika bisa dinaikkan IP menjadi 1,3, akan meningakaan luas tanam menjadi 900 ribu hektare atau luas panen 858.711 ha dengan tambahan produksi sebanyak 1,34 juta ton beras.

Langkah lain menurut Rahmanto adalah optimalisasi lahan rawa yang luasnya menapai satu juta hektare. Dari lahan tersebut ada potensi penambahan produksi sebanyak 3,1 juta ton. 

Selain itu optimalisasi lahan tadah hujan seperti lahan perkebunan, Perhutani dan tegalan masyarakat yang luasnya mencapai 7,6  juta hektare. “Jika bisa dioptimalkan 1 juta hektare, maka akan menyumbang 2,9 juta ton. Karena itu harus dioptimalisasi dengan pemanfaatan air tanah,” ujarnya.

Sementara itu, Direktorat Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Rachmat mengatakan sektor pertanian Indonesia masih mengalami tantangan besar, terutama dari sektor alih lahan yang masif saat ini.  

Selain itu, dia mengatakan produktivitas padi riil Indonesia di lapangan masih belum mencapai potensi hasilnya. “Posisinya intensitas tanam padi kita ini masih rata-rata belum dua kali ya. Seperti yang disampaikan Pak Rahmanto, ada yang satu ada yang dua. Sebagian ada yang tiga sebagian juga ada yang empat. Tapi rata rata masih di bawah dua,” ujar Rachmat.

Untuk meningkatkan produktivitas padi, pemerintah berupaya menggeser varietas yang memiliki produktifitas rendah dengan menyiapkan varietas unggul. Di sawah irigasi saat ini petani masih banyak menanam varietas Ciherang yang produktifitasnya hanya 5-6 ton per hektare. Untuk itu, pemerintah menyiapkan varietas Inpari 32 yang produktivitasnya bisa mencapai 7-8 ton per hektare. 

”Di lahan tadah hujan ada varietas Inpago 8. Di lahan rawa ada Inpara yang produktivitasnya ada bisa mencapai 4-8 ton per hektare. Ini yang kita lakukan untuk meningkatkan produktifitas padi,” katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler