Ujaran Kebencian dalam Gimmik Politik
Pengamat politik menilai bahwa Jokowi memiliki keberpihakan kepada salah satu Capres sehingga makan siang tersebut dianggap gimmick untuk menarik perhatian publik. Apa yang dimaksud dengan gimmick politik? Mengapa istilah gimmick muncul di tahun poli
Susianah Affandy
Kornas Peta Indonesia dan Wakil Ketua Umum DPP Pencinta Tanah Air Indonesia
Presiden RI Joko Widodo mengundang makan bersama 3 Capres di Istana Negara pada 30 Oktober 2023. Kegiatan Presiden RI tersebut dinilai oleh pengamat dan elit politik sebagai gimmick semata. Pengamat politik menilai bahwa Jokowi memiliki keberpihakan kepada salah satu Capres sehingga makan siang tersebut dianggap gimmick untuk menarik perhatian publik. Apa yang dimaksud dengan gimmick politik? Mengapa istilah gimmick muncul di tahun politik saat ini?
Gimmik Elit di Tahun Politik
Gimmik berasal dari kata gimmick, kota kata bahasa Inggris yang memiliki arti sesuatu yang tidak serius atau nyata, digunakan untuk tujuan menarik perhatian orang lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gimik memiliki arti sebagai gerak-gerik seorang aktor untuk menipu actor lainnya dalam bermain peran, atau sesuatu alat atau trik yang dipakai untuk menarik perhatian. Kata gimmick kerap dipakai untuk menunjuk pada gerak-gerik yang berkaitan dengan seni panggung oleh para artis. Gimmick yang dilakukan artis biasanya nampak pada tampilan yang menonjol seperti rias wajah, kostum yang digunakan dan adegan yang menarik perhatian penonton dengan tujuan meningkatkan rating.
Belakangan, kata gimmick juga digunakan dalam istilah politik. Dr.Tengku Murphi Nusmir menyebutkan bahwa politik terasa gersang dan kurang menarik tanpa gimmick. Gimmick dalam politik bentuknya tidak hanya nampak pada program kerja yang ditawarkan namun juga melalui tampilan fisik, sikap, komunikasi bahkan bentuk fashion yang digunakan (tribunnews.com). Seperti misalnya pada saat Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, ia tak segan-segan menampilkan gimmick yang membuat banyak orang memberikan kesan sosok pemimpin merakyat. Fashion yang dikenakan Jokowi mulai dari baju, celana panjang sampai sepatu yang merupakan produk dalam negeri dengan harga hanya Rp. 100-san ribu menarik perhatian para pendukungnya.
Gimmik dan Melemahnya Kecintaan Kepada Parpol
Gimmik politik sebagai istilah baru dalam dunia perpolitikan disebabkan salah satunya karena makin menurunnya kecintaan rakyat kepada partai politik. Penelitian SMRC tahun 2017 yang dikutip oleh Harian Kompas menyebutkan tingkat party ID pada Pemilu di Indonesia hanya berada pada kisaran 11,7%. Pada survey Indikator Politik Indonesia tahun 2021 menyatakan hanya 6,8% responden yang memiliki kecintaan dan kedekatan dengan partai politik.
Konsep party identification menyebutkan bahwa kesukaan rakyat kepada partai politik memiliki pengaruh besar dalam membentuk loyalitas dan terus memilih partai politik tersebut dalam Pemilu (Kompas.com). Kecintaan rakyat akan mendorong pemilih rela berkorban dengan memberikan sumbangan materi dan tenaga untuk kemenangan partai politik. Sebaliknya, menurunnya tingkat kecintaan rakyat terhadap partai politik membuat mereka enggan berkorban dan berjuang atas dasar kerelaan (suka rela).
Menurunnya kecintaan rakyat kepada partai politik dikuatkan oleh hasil survey Kompas pada Mei 2023 di mana tercatat tentang kesukaan terhadap parpol yang relative sangat rendah. Rendahnya kecintaan rakyat terhadap partai politik inilah yang memunculkan strategi khusus dilakukan oleh elit partai politik untuk mendekatkan mereka dengan konstituen.
Prosentasi pemilih rasional dalam survey yang digelar oleh Poltracking tahun 2022 meningkat 30,7%, diikuti oleh pemilih sosiologis 25,2% dan pemilih psikologis 20,7%. Peningkatan jumlah pemilih rasional berpengaruh terhadap strategi partai politik dan elit politik dalam menggait dukungan di akar rumput. Pemilih rasional sebagai pemilih yang menempatkan pertimbangan rasio dalam menilai kapabilitas elit politik, pengalaman, visi-misi dan program kerja yang diusung. Meningkatnya angka pemilih rasional dalam Pemilu menjadi salah satu indikator bahwa masyarakat Indonesia sudah tidak fanatik kepada partai politik sebagai peserta Pemilu.
Daya tarik rakyat dalam setiap pelaksanaan Pilkada dan dua kali Pemilihan Presiden nampak pada sosok kandidat, bukan pada partai politik pengusung. Rakyat lebih mempertimbangkan seorang kandidat ketimbang partai politik dalam dua kali Pemilu terakhir. Dalam survey yang dilakukan oleh Harian Umum Kompas terlihat kepatuhan pemilih lebih besar kepada “kandidat” ketimbang kepada partai politik.
Pertanyaan “jika parpol mengajukan calon yang tidak disukai dibandingkan jika calon disukai oleh partai politik”, maka responden konsisten menjawab lebih condong kepada calon yang disukai. Fenomena menurunnya kecintaan rakyat kepada institusi partai politik, membuat para elit melakukan gimmick politik untuk menarik perhatian konstituens dan mengkonversikannya menjadi dukungan electoral.
Ujaran Kebencian Dalam Gimmik Elit Politik
Kini di tahun Pemilu, gimmick elit politik tidak hanya nampak pada atribut yang digunakan. Para elit menampilkan gimmick politik dengan statemen-statemen yang mengarah pada ujaran kebencian. Seorang Sekjen Partai Politik menyatakan kepada media tentang adanya kejadian kekerasan atau penganiayaan yang dilakukan seorang Menteri saat Sidang Kabinet, itu suatu gimmick bertujuan untuk menarik perhatian public. Meski statemen tersebut banyak dibantah oleh pihak-pihak terkait, namun jika tujuannya menarik perhatian public dengan fitnah ujaran kebencian, maka gimmick politik ini tercapai targetnya.
Jika pada pelaksanaan Pilkada, gimmick yang dilakukan elit bertujuan untuk meningkatkan kesukaan rakyat kepada mereka yang kemudian terkonversi menjadi dukungan suara, maka pada tahun politik saat ini memiliki tujuan lain. Gimmick digunakan sebagai strategi dalam menyasar dua sisi, yakni pertama menyerang Presiden Jokowi yang dinilai sebagai elit yang berhianat kepada partai pengusung. Gimmik dipakai juga untuk menyerang Jokowi dengan stigma membangun dinasti politik dan sebagainya. Target kedua yang menjadi sasaran gimmick elit politik adalah agar public yakni rakyat Indonesia menaruh perhatian kepada mereka sebagai politisi yang memperjuangkan rakyat.
Gimmik elit politik yang berorientasi pada ujaran kebencian akhirnya menjebak para pemimpin negeri saling adu argument, saling serang dan berbantah-bantahan di ranah public. Politisi A menyatakan ke media tentang hak angket DPR RI terkait MK, maka politisi B membantah bahwa kewenangan DPR RI hanya bisa melakukan pengajuan hak angket kepada Pemerintah bukan pada Lembaga yudikatif. Gimmick politik lainnya juga demikian seperti politisi A menuding parpol tersandera, dan elit politik yang di serang menyindir kembali bahwa sebenarnya partainya A sendiri yang tersandera. Demikian seterusnya kegaduhan para elit negeri dalam upaya menarik simpati rakyat. Wallahu ‘alam