Kubu Prabowo Tuding Masih Ada Gerakan Penjegalan Gibran Usai Putusan MKMK
Gerakan itu menggunakan kesimpulan MKMK untuk membatalkan putusan 90.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dan elite Partai Golkar menuding masih ada gerakan yang berupaya menjegal pencalonan Gibran, bahkan menggagalkan Pilpres 2024. Padahal, pencalonan Gibran sudah berkepastian hukum.
Wakil Komandan Hukum dan Advokasi TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman menjelaskan, pencalonan Gibran telah berkekuatan hukum tetap karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia minimum capres dan cawapres tidak dibatalkan oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK).
Dia menambahkan, meski ada sejumlah gugatan baru di MK yang meminta putusan nomor 90 itu dikoreksi atau dibatalkan, tapi belum tentu dikabulkan. Kalaupun dikabulkan, sudah pasti putusan tersebut tidak bisa diterapkan pada Pilpres 2024 karena KPU RI sudah akan menetapkan pasangan capres-cawapres pada pekan depan.
"Jadi, sudah ada kepastian hukum, saya ulangi, sudah ada kepastian hukum. Pasangan Prabowo-Gibran akan ditetapkan tanggal 13 November dan tidak ada halangan sama sekali," kata Habiburokhman saat konferensi pers di sebuah kafe di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (9/11/2023).
Kendati begitu, kata dia, TKN Prabowo-Gibran mengendus masih ada gerakan yang berupaya menggagalkan pencalonan Gibran. Gerakan itu disinyalir tak hanya ingin menjegal Gibran, tapi juga menggagalkan Pilpres 2024.
"Ada informasi yang menyampaikan ke kami adanya gerakan-gerakan yang ingin menggagalkan anak muda menjadi cawapresnya Pak Prabowo. Bahkan ada yang mengingatkan kami sepertinya gerakan ini arahnya bisa lebih jauh lagi untuk gagalkan pemilu," kata wakil ketua Komisi III DPR RI itu.
Habiburokhman enggan menyebutkan siapa dalang di balik gerakan tersebut. Dia hanya menjelaskan bahwa keberadaan gerakan tersebut terindikasi salah satunya dari tindakan sejumlah pihak yang masih saja tidak puas meski MKMK sudah menyatakan Ketua MK Anwar Usman melanggar kode etik berat. Pihak-pihak tersebut kini malah menggunakan putusan MKMK itu sebagai 'peluru' untuk membatalkan putusan 90.
"Kalau sudah ke situ (upaya pembatalan putusan MK nomor 90) pasti sudah bukan penegakan etika lagi. Pasti itu ada motif politik apakah takut kalah, apakah karena takut kehilangan kekuasaan, apakah takut tidak berkuasa lagi, yang tahu Allah dan rakyat yang bisa menilai," kata Waketum Partai Gerindra itu.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Partai Golkar Maman Abdurahman mengatakan, gerakan tersebut bukan lagi murni upaya menegakkan hukum atau etika hakim konstitusi. Gerakan tersebut justru masuk ke ranah politik, yakni menjegal Gibran.
"Arahnya sudah bukan lagi objektivitas, tapi justru ingin menjegal salah satu kader terbaik kita, anak muda terbaik kita. Kita melihat potensi kalau ada upaya untuk menjegal mas Gibran. Kita membaca ada yang ingin mengamputasi hak konstitusi rakyat (memilih capres-cawapres)," kata Maman dalam kesempatan sama.
Ketika dikonfirmasi apakah dua gugatan di MK yang berupaya membatalkan putusan 90 adalah bagian dari gerakan tersebut, Maman membenarkan. Dia menyebut, gerakan penjegalan Gibran terjadi di dalam dan di luar MK.
Hanya saja, Maman juga enggan menyebut siapa pihak yang diduga sebagai dalang gerakan tersebut. Dia menyerahkan kepada rakyat untuk membuat penilaian. Kendati begitu, Maman dan Habiburokhman kompak menyatakan bahwa gerakan itu tidak akan gagal karena Gibran sudah pasti melaju sebagai cawapres pendamping Prabowo.
Sebagai catatan, saat ini ada dua gugatan baru di MK yang menggugat putusan MK nomor 90. Pertama, permohonan uji materiil yang diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana (23).
Brahma meminta agar MK mengubah kembali ketentuan syarat batas usia minimum sehingga hanya kepala daerah gubernur yang boleh menjadi capres atau cawapres meski belum berusia 40 tahun. Perkara yang teregister dengan nomor L 141/PUU-XXI/2023 itu kini sedang disidangkan oleh MK.
Kedua, permohonan uji formil terhadap putusan MK nomor 90 yang diajukan oleh duo pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar. Mereka meminta MK membuat lima putusan sela/provisi. Beberapa di antaranya adalah menunda pemberlakuan dan menangguhkan kebijakan yang berkaitan putusan MK nomor 90 hingga gugatan uji formil ini diputuskan. Mereka juga meminta sidang digelar cepat dan Anwar Usman tidak dilibatkan.
Dalam pokok permohonannya, Denny dan Zainal meminta MK memutuskan bahwa putusan MK nomor 90 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Apabila gugatan Denny dan Zainal maupun gugatan mahasiswa Universitas NU dikabulkan sebelum KPU menetapkan pasangan capres-cawapres pada 13 November 2023, maka Gibran berpotensi batal menjadi cawapres pendamping Prabowo.